Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kesadaran dan tuntutan zaman melalui kurikulum akan pentingnya pembentukan karakter dalam pembelajaran. Sistem pendidikan Indonesia dalam dekade terakhir menjadi harapan dalam upaya pencerdasan bangsa yang berakhlak mulia. Munculnya kurikulum 2006, KTSP yang berkarakter bangsa menjawab harapan masyarakat terhadap kebutuhan SDM yang beraklak mulia.
Sains memiliki peran dalam pembentukan karakter bangsa yang dimaksud. Akan tetapi terkesan jauh panggang dari api, apa yang diharapkan tidak seperti harapan. Berdasarkan pengalaman penulis, bahwa harapan akan tercapai jika semua stakeholder dalam pendidikan mampu secara sadar untuk mengelola pendidikan. Akan tetapi, ujung tombak dlm "proyek" pembentukan sikap (karakter tersebut) adalah sekolah melalui guru (pendidik). Hanya saja, kesadaran tersebut masih berada pada level rendah, tidak memenuhi standar.
Banyak guru (sekolah) belum secara sadar mengelola pembentukan sikap. Alhasil aspek pengetahuan cenderung lebih dikedepankan, artinya bahwa pembelajaran dengan segala metodenya mandek atau berhenti pada skor pengetahuan. Guru enggan untuk melanjutkannya atau enggan untuk mengirinyanya menjadi pola hidup (sikap). Mengapa? Gampang gampang susah untuk menjawabnya, karena masalahnya sangat sistemik. Tidak standarnya proses pembelajaran di dalam sekolah dan rendahnya kualitas tenaga pendidik turut berkontribusi dalam hal ini.
Tulisan berikut akan dibatasi pada hubungan pembentukan sikap sebagai hasil belajar dalam pembelajaran sains (kimia).
Sebagai praktisi dalam pendidikan sains (kimia), penulis menyadari bahwa sains sebagai salah satu rumpun ilmu yang begitu cepat perkembangannya, seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Sains telah memberikan nilai tambah untuk semua aspek kehidupan. Sebaliknya nilai-nilai tersebut selanjutnya digunakan untuk mengembangkan sais itu sendiri.
Sikap sebagai Hasil Belajar
Teori tanpa praktik bukan sains, praktik tanpa teori bukan ilmu.
Kalimat sederhana di atas adalah bukti betapa adanya keterikatan ilmu dengan terapan ilmu itu sendiri. Dunia pendidikan yang banyak dipengaruhi oleh kesadaran akan pentingnya pengintegrasian ilmu dalam menyelesaikan permasalahan2 yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, telah melahirkan inovasi pembelajaran yang dimulai dari ruang kelas. Di Indonesia sejak tahun 2004 dengan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan diteruskan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), telah mempertegas tujuan belajar dalam 3 aspek, yaitu aspek pengetahuan, aspek sikap dan aspek keterampilan.
Sains (kimia) adalah mata pelajaran dalam rumpun ilmu murni telah mampu beradaptasi atau sebaliknya kurikulum justru yang beradaptasi thdpnya. Ketiga tujuan belajar dalam sains sangat mudah dilacak, jika dibandingkan dengan rumpun ilmu sosial. Keberhasilan peserta didik dalam belajar sains (kimia) tentunya dipengaruhi oleh keseimbangan aspek tagihan yang diharapkan dalam pembelajaran. Unjuk kerja dalam kerja ilmiah di laboratorium adalah bukti bahwa ilmu kimia adalah sains. Prosedur-prosedur yang ditaati dengan penuh kedisplinan akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Kesiapan dalam kerja di laboratorium tentunya berkontribusi terhadap hasil belajar yg lebih baik. Ketelitian dan keuletan akan dipertaruhkan untuk mencapai hasil yg diinginkan.
Penjelasan-penjelasan spt di atas membuktikan bahwa ketiga aspek tujuan belajar dalam pembelajaran dapat dikenali dan dibentuk.
Berikut ini diuraikan contoh kasus hubungan pengetahuan - sikap
1. Seorang anak kecil (balita) yg jelas belum paham makna salam, diajarkan untuk memberi salam kepada orang yg lebih besar dari dia. Pendidikan sikap tersebut adalah pembiasaan yg baik, sebagai pengetahuan yg diajarkan oleh orang tuanya.
2. Seorang siswa SD-SMA diajarkan untuk hadir tepat waktu atau disiplin terhadap waktu agar terbiasa hidup disiplin. Pembelajaran disiplin diberikan kepada anak berupa pengetahuan akan pentingnya hidup disiplin. Pembelajaran sikap dalam kasus ini berkaitan dgn pengetahuan akan untung ruginya dgn bersikap.
3. Seorang siswa/mahasiswa belajar dari kelas Kimia, ttg rusaknya lapisan ozon akibat emisi gas CFC dari mesin pendingin. Dari pembelajaran di kelas, siswa bersikap utk tdk membuka pintu ruangan yg sedang menggunakan AC yg mengandung CFC. Sikap jenis ini adalah produk dari pengetahuan yg dimiliki oleh siswa tsb.
Dalam hal ini, sikap adalah hasil belajar, tidak muncul begitu saja, tetapi dihasilkan dari belajar baik dari pendidikan formal maupun keluarga dan lingkungan.
Bagaimana belajar bersikap? Seperti halnya hasil belajar pengetahuan, hasil belajar sikap dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor internal, faktor dari dalam diri individu, misalnya bakat, minat, motivasi.
Perlu diketahui, bahwa faktor internal ini sendiri sebenarnya dipengaruhi secara signifikan oleh faktor eksternal.
2. Faktor eksternal, adalah pendidikan itu sendiri, melalui pendidikan formal, pendidikan keluarga maupun lingkungan. Faktor eksternal sangatlah menentukan dlm bersikap. Karena faktor eksternal, terlebih dahulu mengajarkan utk bersikap spontan, dan selanjutnya sesuai dgn perkembangan usia dan otak serta pengetahuan, akhirnya semakin tegas memiliki karakter.
Pendidikan sikap bukanlah hal yg mudah utk menjadi suatu karakter. Pendidikan sikap yg hanya sampai pada pemahaman teori ttg pengetahuan, tdk akan bisa konsisten hingga individu tersebut berkarakter.
Sebaliknya, Sikap yg tdk jg dipertegas oleh pemahaman akan pengetahuan, juga tdk akan konsisten menjadi karakter.
Pembentukan sikap perlu disadari diri maupun disadarkan oleh eksternal. Kesadaran diri akan pembentukan sikap adalah baik adanya, dicirikan dgn mau belajar (berpengetahuan) baik sec formal maupun informal. Akan tetapi pembentukan sikap yg tidak berasal dari diri, ttp disadarkan oleh faktor eksternal, lebih rumit. Bahkan oknum-oknum dalam faktor eksternal harus melakukan pendekatan (approach) utk menyadarkan akan pentingnya pembentukan sikap.
Pembentukan sikap yg terakhir ini adalah tantang di dalam pendidikan Indonesia. Banyaknya individu dlm sistem yg tdk disadarinya, dan lemahnya sistem utk menyadarkannya, memproduksi individu-individu yang teoritis sebatas ingatan dan logika berpikir tidak sampai pada action atau tindakan yg adalah sikap.
Pembahasan.
Tulisan ini didukung oleh data-data yang diperoleh melalui wawancara dan diskusi dengan guru-guru sains (kimia). Dari hasil diskusi tersebut maka dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
Dari uraian di atas keseimbangan antara peran diri dan pendidikan keluarga, masyarakat dan formal akan menghasilkan sikap yang konsisten utk berkarakter.
Contoh pembelajaran sikap dlm kelas kimia.
1. Dengan mempelajari materi adalah gabungan dari beberapa unsur yg adalah atom, dengan sejumlah partikel proton, elektron dan neutron, mengajarkan begitu kompleksnya suatu ciptaan dan disadarkan akan pentingnya bersyukur kepada Tuhan atas anugerahnya.
2. masih berhubungan dengan ucapan syukur, ikatan kimia memberi kontribusi terhadap pembentukan material shgg makhluk hidup dapat memanfaatkannya, seperti ikatan kovalen pd gas oksigen, bayangkan seandainya itu tdk dianugerahkan sifat utk berikatan, maka kehidupan di bumi tidak pernah ada, hanya ucapan syukur yg dpt dilakukan
3. Pembentukan minyak bumi dari sisa2 jasad renik di lautan yg membutuhkan jutaan tahun utk bisa tergantikan, menyadarkan kita agar bersikap hemat thdp bahan bakar minyak.
4. Dalam menakar massa padatan maupun volume larutan dlm unjuk kerja di lab, siswa diminta untuk teliti dan jujur agar menghasilkan produk eksperimen yg dikehendaki. Sikap rekayasa data diminimalisir dengan adanya sikap sabar dan bertanggung jawab.
Rasa ingin tahu juga dibutuhkan utk menghasilkan produk yang baik.
5. Dari pengetahuan akan manfaat bahan2 kimia dan dampak yg terjadi jika disalahgunakan, menghasilkan sikap hati-hati dlm penggunaannya, dpt pula memberikan informasi kpd khalayak akan bahaya produk tersebut, seperti minuman beralkohol, penggunaan formaldehida sebagai pengawet makanan, pewarna-pewarna sintetik dsb.
Dan banyak lagi pemahaman pengetahuan yg dapat menentukan pembentukan sikap siswa thdp objek tertentu.
Dalam ilmu pendidikan, Krathwol menjelaskan taksonomi sikap antara lain receiving (penerimaan), responding (tanggapan), valuing (memiliki nilai), organizing (penghayatan) dan characterization (karakterisasi).
Berkenaan dengan receiving, fakta motivasi, kehadiran di dalam kelas, disiplin, dll
Responding: minat, rasa ingin tahu, tanggung jawab
Valuing: pemahaman akan nilai-nilai dari pengetahuan yg diperoleh, rasa syukur, hemat, teliti, jujur
Organizing: tindakan nyata bersyukur, mengajak utk berbuat, mempengaruhi utk bertindak sesuai nilai yg terkandung dlm suatu subjek tertentu
Characterization: pola hidup yg konsisten, bahkan menjadi panutan ataupun teladan bagi orang lain.
Bagaimana evaluasi sikap yg efektif dan efisien?
Khususnya evaluasi sikap pada mata pelajaran kimia, instrumen yg dpt digunakan
1. Observasi-instrumen nilai, organisasi, karakterisasi
2. Dokumentasi-instrumen penerimaan, respon
3. Penilaian diri-instrumen keseluruhan
4. Penilaian teman sejawat-instrumen nilai dan seterusnya.
Instrumen yang digunakan masing-masing memiliki keunggulan maupun kekurangan.
Observasi memiliki tingkat signifikansi yg besar karena hanya subjek peneliti yg objektif dalam menarik kesimpulan dari apa yang diamati. Biasanya observasi dilengkapi dgn lembar observasi yg mampu merekam aktivitas yg terjadi selama pembelajaran berlangsung. Selain itu daftar ceklis juga dapat digunakan untuk mendukung data dari observasi tersebut. Akan tetapi keterjangkauan objek penelitian sangat terbatas adanya, terlebih lebih jika observer 1 orang saja. Meminimalkan kekurangan ini dapat dilakukan dgn menambah jumlah observer.
Dokumentasi, instrumen ini juga merupakan pilihan yang memiliki tingkat signifikansi yang tinggi terhadap objektifitas penilaian sikap. Dokumentasi yang dimaksud dpt berupa daftar hadir siswa, jurnal belajar siswa, tugas-tugas. Kelemahan dari dokumentasi hampir sama dengan instrumen observasi, yaitu terletak pada keterjangkauan dalam menangani siswa. Waktu juga yang diperlukan utk menarik kesimpulan cukup banyak dibutuhkan. Akan tetapi penskoran lebih mudah, karena tegas oleh peneliti.
Penilaian diri. Instrumen yang satu ini mampu mengukur sikap secara komprehensif. Biasanya peneliti menyiapkan quesioner atau angket yang terdiri dari jabaran-jabaran indikator yang diukur. Kelemahannya terletak pada reliabilitas hasil. Kasus yang ditemukan banyak siswa yang tidak sungguh2 mengerjakan quesioner dengan jujur dan apa adanya. Untuk mengatasi kelemahan ini, peneliti biasanya menjelaskan pentingnya menjawab quesioner thdp hasil belajar.
Penilaian teman sejawat.
Penggunaan penilaian teman sejawat diharapkan utk mengumpulkan informasi tentang kompetensi sosial rekan sejawatnya. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa validnya instrumen
Contoh kasus dalam pembelajaran kimia.
Seorang guru mengajak peserta didik untuk membentuk kelompok dlm materi ajar sel elektrolisis untuk praktikum. Aspek sikap yg ditagih dalam diskusi tersebut adalah kepemilikan nilai. Dari berdiskusi atau berkelompok terkandung nilai kerja sama, tanggung jawab, kejujuran. Agar nilai tsb dapat dilacak keberadaannya, maka guru merancang percobaan tersebut, dgn memberikan tugas awal pada hari sebelumnya, di mana siswa diminta untuk menuliskan landasan teori dari elektrolisis untuk masing-masing individu, yang nantinya akan menjadi tiket dlm memasuki ruang praktikum.
Peneliti harus menyiapkan daftar ceklis utk kedisiplinan, daftar nilai atau lembar observasi utk tagihan tugas landasan teori.
Tagihan tugas landasan teori ini nantinya sangat penting dan perlu perhatian khusus. Hasil yg diperoleh diamati oleh observer dgn menggunakan feeling keahliannya. Biasanya ditemukan siswa memiliki konten yg serupa, ditemukan juga siswa menuliskannya dgn tidak rapi dan tergesa-gesa, jd tdk sampai pada target, ada juga siswa tepat waktu, tidak tergesa-gesa tetapi tidak konten (tidak substansi).
Peneliti harus jeli menyimpulkannya, dan ketika percobaan usai diadakan evaluasi berkenaan dengan tagihan tersebut. Siswa harus diberikan pemahaman akan pentingnya kedisplinan, pentingnya kejujuran dan pentingnya tanggung jawab,, shgg pada kegiatan selanjutnya dapat berubah.
Perlu diingat pengambilan kesimpulan ttg sikap yg akan menjadi pola hidup tidaklah mudah, perlu deskripsi terpisah berkenaan dgn evaluasinya. Hasil dari penilaian sikap dlm suatu pembelajaran sebaiknya diintegrasikan dalam pola hidup. Sehingga sebaliknya pembentukan pola hidup justru mampu mengubah dan memperkuat pengetahuan itu sendiri.
Sehingga kita dapat simpulkan siswa yg disiplin, siswa yang tekun, siswa yang jujur akan berhasil. Akhirnya pembentukan sikap menuju pola hidup merupakan suatu proses panjang yang dapat dituai untuk masa yang akan datang yg berkesinambungan.
Simpulan
Sikap sebagai hasil belajar lahir dari pengetahuan yg berawal dari pembiasaan yang akhirnya menjadi pola hidup.
Sikap yang sudah menjadi pola hidup kembali digunakan dalam meningkatkan prestasi belajar itu sendiri.
Mekanisme yg diajukan
Pengetahuan I (pedagogik)- Sikap I - Pengetahuan II (andragogi)- Sikap II (Pola Hidup)- Prestasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar