Ada Apa Dengan Kurikulum 2013?
(pandangan khusus tentang sekilas sistem pendidikan di Indonesia)
Pengantar
Pendidikan merupakan upaya sistematis yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam mewujudkan kehidupan yang cerdas menuju masyarakat adil dan makmur (termaktub pada Pembukaan UUD 1945). Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam sektor pendidikan harus merancang sistem yang mampu “meng-cover” kebutuhan masyarakat dalam sektor ini. Salah satu komponen penting yang menjadi alat Pemerintah dalam mensukseskan sistem pendidikan nasional adalah Kurikulum.
Kurikulum 2013
Secara definisi kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaran kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Dari definisi ini, kurikulum adalah acuan pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar, sebagai kegiatan yang paling utama di lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah. Satu tahun terakhir, pembahasan tentang kurikulum menjadi sorotan masyarakat ilmiah di dunia pendidikan. Ini berawal ketika Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di akhir-akhir pemerintahannya berencana mengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sudah berjalan kurang lebih 7 tahun (2006-2013) menjadi Kurikulum 2013. Padahal idealnya pergantian Kurikulum baiknya dilaksankan setiap 10 tahun sekali. Akan tetapi dengan alasan akan pentingnya penumbuhan karakter (sikap) peserta didik dan sudah tidak relevannya KTSP sebagai kurikulum yang sedang berjalan pada saat ini, maka akhirnya Kurikulum 2013 muncul sebagai Kurikulum yang dianggap mampu menjawab permasalahan yang ada di sektor pendidikan.
Pertanyaannya: apa benar Kurikulum 2013 mampu menjawab problematika di sektor pendidikan?
Kompleksnya tuntutan adiministrasi dan portofolio penilaian peserta didik menjadi ciri khas kurikulum 2013, justru dipandang sebagai sesuatu yang mubazir. Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, KTSP, yang melahirkan pemisahan tiga domain belajar yakni kognitif, afektif dan psikomotor, serta mengedepankan penyesuaikan kurikulum terhadap kebutuhan sekolah maupun daerah, dengan memunculkan muatan lokal, maka KTSP dirasa sudah sangat proporsional. Akan tetapi, landasan yang mungkin sangat prinsipil oleh Kemendikbud, akhirnya Kurikulum 2013 ditetapkan dan harus diimplementasikan oleh semua sekolah paling lambat tahun 2014 di seluruh pelosok tanah air.
Pemerintah dengan yakin mampu mensosilisasikan Kurikulum 2013 dengan segala item-item khas di dalamnya. Melalui pelatihan-pelatihan Instruktur Nasional, Pemerintah seolah sudah percaya semua akan baik-baik saja. Padahal dengan rumitnya implementasi Kurikulum 2013, hemat Penulis, justru kurikulum tersebut akhirnya akan kandas di tengah jalan. Mengapa? Tentunya keterjangkauan sekaligus kemampuan serta kesiapan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan implementasi Kurikulum 2013 ibarat “jauh panggang dari api”. Apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.
Ada beberapa hal yang menarik dan perlu direnungkan pada konten Kurikulum 2013. Munculnya penilaian kuantitatif yang dikonversi menjadi kualitatif (predikat) serta dideskripsikan di seluruh domain hasil belajar. Menilik kurikulum sebelumnya, dan bahkan sejak Indonesia merdeka, maka pola penilaian siswa pada Laporan Hasil Belajar adalah dalam bentuk angka, dan mindset masyarakat sudah tertata dengan keadaan tersebut. Hal yang berbeda yang perlu direnungkan adalah, Kurikulum 2013 justru mengadopsi penilaian seperti pada Perguruan Tinggi, dengan mengkoversi nilai angka menjadi predikat (Amat Baik, Baik, Cukup dan seterusnya), bahkan harus melibatkan deskripsi ketercapaian kompetensi pada seluruh ranah (domain) hasil belajar. Dapat dikatakan bahwa beban guru menjadi dua kali lipat banyaknya bahkan lebih, hanya untuk informasi hasil belajar. Seberapa banyak waktu yang dikeluarkan untuk hal tersebut, dan apa urgensi sesungguhnya dengan model penilaian tersebut? Kemudian munculnya aspek sikap spiritual dan sikap sosial, yang diobservasi terus menerus, dijabarkan pada kompetensi inti (KI 1 dan 2), dan penilaiannya pada Laporan Hasil Belajar Siswa juga dideskripsikan, menurut hemat Penulis adalah pekerjaan yang sia-sia. Kejanggalan adalah bagaimana seorang Guru mampu menghakimi peserta didiknya hanya dengan pengamatan yang terbatas. Sedang seorang Guru juga manusia yang terbatas adanya, yang tidak mampu menembus sisi-sisi keimanan, dan tidak mampu menjangkau sisi-sisi sosial individu. Bagaimana seorang Guru yakin bahwa peserta didik mengimani segala sesuatu yang terjabar pada KI masing-masing mata pelajaran. Takutnya informasi yang diberikan justru beda dari kenyataannya, yang berakibat fatal bagi peserta didik, dan kredibilitas Guru dipertaruhkan. Penulis justru menilai bahwa model penilaian seperti ini adalah mubazir, tidak masuk akal dan tidak berguna adanya. Penulis percaya implementasi di lapangan tidak akan terlaksana, karena memang filosofinya tidak benar. Jika dibandingkan dengn Kurikulum sebelumnya, aspek afektif masing-masing mata pelajaran sangat logicuntuk diukur dan diambil kesimpulannya. Aspek afektif yang meliputi sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral sangat memungkinkan diobservasi dan dilakukan penilaiannya, akan tetapi tidak dengan sikap spiritual dan sosial. Kalaupun Kurikulum 2013 memperhatikan pembentukan sikap peserta didik, maka penilaian terhadap aspek afektif lebih tepat, bukan memaksakan sikap sebagai bentuk spiritual dan sosial yang sulit untuk terukur.
Mengenai metode scientific yang ditonjolkan oleh Kurikulum 2013, justru hal tersebut sudah didefinisikan dan berusaha diterapkan jauh-jauh sebelumnya pada kurikulum-kurikulum terdahulu, semisal KTSP. Berbagai metode dan strategi pembelajaran juga menjadi kekuatan pada Kurikulum KTSP, pendekatan kontekstual, adalah ciri khas yang wajib diterapkan. Hanya saja kebutuhan pembelajaran konsekstual tersebut harus didukung oleh sarana pendukung, misalnya alat dan bahan di laboratorium. Yang terlihat dan dirasakan Pemerintah belum menjamah komponen penyediaan alat-alat dan bahan-bahan di Laboratorium tersebut dengan standar yang dibutuhkan, padahal kurikulum menuntut penerapannya. Jadi apa yang dicita-citakan tidak akan pernah tercapai, karena fokus adalah pada kelengkapan administrasi belaka, bukan pada kebutuhan urgen yang seharusnya terlebih dahulu dipersiapkan.
Berkurangnya jumlah jam mata pelajaran Bahasa Inggris pada Kurikulum 2013 (khususnya di tingkat SMP-SMA-SMK) tentu saja berdampak pada berkurangnya kesempatan belajar komunikasi bahasa internasional yang gratis dari sekolah. Rekomendasi Pemerintah agar Bahasa Inggris diperoleh dari pendidikan informal seperti lembaga-lembaga kursus, ataupun sumber-sumber lainnya, hanya menimbulkan kesenjangan yang terbuka semakin lebar, antara peserta didik di kota dengan di daerah. Tentu saja peserta didik yang tinggal di kota lebih mudah mengakses kebutuhannya, sedangkan di daerah bergerak sangat lambat memenuhi. Dihilangkannya mata pelajaran TIK yang dilahirkan oleh KTSP, justru akan menutup peluang peserta didik mengenal teknologi informasi pada pendidikan formal di sekolah dengan mudah. Ironinya, pemerintah masih tetap berkeyakinan hal ini akan berjalan sesuai harapan, padahal di satu sisi Pemerintah sangat lambat untuk memenuhi kebutuhan standar di sekolah-sekolah. Maka, ada apa dengan Kurikulum 2013? Ternyata jawabannya Kurikulum 2013 hanya terkesan menyibukkan Guru dengan administrasi, yang terkesan dipaksakan.
Apa yang sebenarnya Pendidikan butuhkan?
Kembali pada sistem pendidikan. Seperti yang diungkapkan di atas, pendidikan adalah usaha sistematis yang diharapkan menjawab kebutuhan masyarakat. Undang-undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan standar nasional pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Kedelapan standar nasional pendidikan tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi oleh pengelola pendidikan untuk mencapai dn mendukung pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Akan tetapi apa yang terjadi, ternyata standar nasional pendidikan (SNP) terkesan hanya sebuah wacana yang sulit untuk dipenuhi. Ujian Nasional dan Kurikulum 2013 hanyalah salah satu bagian yang sebenarnya tidak terlalu penting jika dibandingkan pada komponen yang menjadi ujung tombak pendidikan itu sendirinya yaitu Guru. Sumber daya manusia adalah komponen terpenting di sektor pendidikan. Kebutuhan akan SDM Guru yang berstandar dan berkualitas sebaiknya lebih diperhatikan lagi. Untuk apa Kurikulum yang katanya mutakhir hasil pemikiran para ahli dibuat, jika pejuang-pejuang (guru) tidak mampu menerapkannya di lapangan. Dan inilah yang terus menerus terjadi. Kualitas SDM Guru masih perlu dipertanyakan. Pemerintah belum mampu menuntaskan masalah tersebut. Ada dua hal yang berkenaan dengan SDM Guru, yaitu kualitas dan kesejahteraan. Pemerintah memunculkan program sertifikasi untuk mendongkrak kesejahteraan guru, akan tetapi apa mampu menjawab kualitas? Di sisi lain tunjangan sertifikasi masih terus diikat oleh administrasi yang banyak,dan tidak jarang terhambat, yang justru mempertanyakan kredibilitas program Pemerintah itu sendiri. Kalau berbicara dengan kualitas, maka sebaiknya Pemerintah bersungguh-sungguh merekrut calon guru, bukan mempertanyakan dan bahkan terkesan memojokkan Guru yang sudah dalam jabatan Guru berpuluh-puluh tahun. Pemerintah sebaiknya mengupdate kemampuan Guru, bukan justru membiarkannya.
Problem berikutnya adalah ketersediaan sarana dan prasarana. Hemat penulis, teori tanpa praktik adalah bohong. Sebaik apapun Kurikulum, tetapi jika tidak dibarengi dengan ketersediaan sarana dan prasarana, maka semua sia-sia. Secara tidak sengaja telah terjadi praktik yang sia-sia, praktik yang asal sudah yang justru mengancam generasi ke depannya, karena tidak mendukung pertumbuhan karakter yang diharapkan. Munculnya praktik-praktik administrasi yang manipulatif bahkan fiktif, melahirkan generasi yang tidak bertumbuh dengan baik. Tidak jarang kita menyaksikan sendiri, sekolah-sekolah yang bangunannya sudah lapuk, tidak memadai lagi, akses ke sekolah jauh, butuh perjalanan dan waktu yang sangat lama, kekurangan guru, dan banyak lagi, akan tetapi dilaporkan baik-baik saja, padahal sungguh sangat memprihatinkan. Hal-hal tersebut, seolah terbiarkan dari waktu ke waktu. Anggaran 20% dari APBN seharusnya dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana dahulu, bukan tergesa-gesa untuk merubah Kurikulum atupun sibuk memantapkan paket-paket Soal Ujian Nasional dari tahun ke tahun.
Kesimpulan
Melihat uraian di atas, maka sebaiknya Pemerintah harus meninjau ulang sistem pendidikan di Indonesia. Munculnya Kurikulum 2013 bukanlah satu-satunya solusi permasalahan pendidikan di Indonesia, mengingat kompleksnya penerapannya di lapangan (sekolah). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berbasis kebutuhan sekolah maupun daerah, baiknya diperkuat dalam bentuk program suplemen KTSP. Jika dihubungkan dengan kebutuhan SDM yang berkualitas dan sarana/prasaran yang memadai seharusnya menjadi program utama untuk dituntaskan oleh Pemerintah.
(Artikel ini sudah dimuat di Surat Kabar INDONIAS, Edisi 5 | 11 - 18 Agustus 2014)
Penulis:
Sun Theo C.L. Ndruru, M.Si.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar