Kamis, 21 Juni 2018

Karakterisasi Material Polimer: Studi Kasus Mikrokristalin Selulosa (MCC)

Untuk mempelajari stuktur dan sifat mikrokristalin selulosa (MCC), beberapa teknik telah banyak dilakukan peneliti. Analisis-analisis tersebut antara lain FTIR, CP/MAS C-13 NMR, GPC, analisis termal, XRD dan mikroskop elektron.

1. Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR)
Spektroskopi infra merah (infrared) adalah teknik paling cepat dan murah untuk mempelajari polimer. FTIR adalah pengukuran intensitas dan panjang gelombang serappan radiasi IR dari suatu sampel. Pada era modern, FTIR telah digunakan secara mendalam dalam memonitoring struktur kimia dan gugus fungsi dari senyawa lignoselulosa. Contohnya, berbagai aplikasi untuk industri biologis, biokimia dan makanan yang digunakan luas pada region 4000-400 cm^-1 di mana serapan pita meliputi transisi antara keadaan energi vibrasi dan rotasi substrat dari molekul.
Pita serapan lebar akan diamati pada 3400-35000 cm^-1 atau 3000-3600 cm^-1 di dalam spektra FTIR, yang mengindikasikan kehadiran vibrasi ulur -OH dari alfa selulosa saat struktur kimia MCC dianalisis dari biomassa seperti sekam padi (rice hulls), kulit kacang (bean hulls), serat alfa, rami, kapas perak, tanan kosong kelapa sawit, rumput pakan ternak (fodder grass), limbah serat pisang, kulit kacang tanah dan bongkol jagung. Contoh untuk serat Alfa puncak pada 1512 cm^-1 menunjukkan keberadaan lignin. Akan tetapi, perlakuan alkali memutuskan ikatan glikosida antara lignin dan fraksi karbohidrat lainnya, yang menghasilkan gangguuan dari struktur lignin dalam selulosa (Alfa-C). Oleh karena itu, kehadiran tingkat kristalin dalam sampel MCC (dari Alfa- MCC dan C-MCC) dapat diamati dari 2901-2905 cm^-1. Serapan air oleh selulosa menunjukkan puncak serapan pad 1645 cm^-1 pada Alfa-MCC sedangkan MCC pada kapas perak, rami, sekam padi, dan kulit kacang menunjukkan puncak serapan air pada 1640 dan 1645 cm^-1 pada tandan kosong kelapa sawit. Keberadaan dari serapan molekul air dikarenakan interaksi kuat antara selulosa dan air dan kehadiran sejumlah dari hemiselulosa.
Pita serapan pada 1425, 1430, 1432 dan 1436 cm^-1 adalah interaksi hidrogen antar-molekul pada C6 gugus aromatik yang meningkat pada sampel MCC pada sekam padi, kulit kacang, tandan kosong kelapa sawit, serat Alfa, secara berturut-turut. Studi alinnya juga terlihat pada pita antara 1157-1164 cm^-1 berhubungan dengan ulur C-O-C dari betha-1-4-glikosida. Vibrasi C-H dari selulosa berhubungan dengan ikatan betha-glikosida yang terjadi pada 895-901 cm^-1.

2. Solid-state cross-polarization C-13 nuclear magnetic resonance (CP/MAS C-13 NMR)
Spektroskopi resonansi magnetik inti (RMI) digunakan untk mengukur serapan radiasi frekuensi radio oleh inti atom bersama-sama dengan spin nonzero dalam medan magnet kuat. RMI adalah metode non-destructive yang mampu menginvestigasi sifat struktur pada fase padatan dan fase larutan. Diferensiasi antara molekul dengan mobilitas dilakukan berdasarkan teknik iini karena dia sensitif terhadap dinamika. Industri pulp menggunakan NMR untuk mempelajari produk akhir dari proses pulping karena informasi komposisi yang detail pada struktur molekul sampel seperti selulosa dan lignin yang diperoleh. 
Puncak karbon selulosa C1, C4 dan C6 terlihat pada daerah antara 60 dan 105 ppm, yang mana geseran berturut-turut di sekitar 102-108 ppm, 80-92 ppm dan 57-67 ppm. Puncak karbon selulosa C2, C3 dan C5 terlihat pada daerah 60-105 ppm yaitu pada sekitar 72 dan 79 ppm. Keberadaan dari puncak-puncak itu berhubungan dengan aksestabilitas parakristalin dan amorfitas, dan inaksestabilitas permukaan serat. Resonansi tajam pada geseran 86-92 ppm dari keberdaaan karbon C4 pada region kristalin dan domain parakristalin, yang umumnya ditemukan dalam selulosa pinus lobiolly dan MCC dari bagas, serat fiberdan pohon kapas sedangkan kehadiran region amorf berhubungan dengan daerah resonansi atas yang lebar pada 80-86 ppm. Oleh karena itu, karbon C4 memiliki area resonansi kristalin dan amorf.

3. Gel permeation chromatography (GPC)
Kromatografi permeasi jel (KPJ) adalah teknik yang menyediakan infromasi detail tentang distribusi berat molekul dan berat molekul relatif dari polimer selulosa. Berat molekul dari polimer selulosa dapat dikarakterisasi dengan dua jenis yaitu berat molekul rata-rata jumlah (Mn) dan berat molekul rata-rata berat (Mw). Selain itu, indeks polidispersitas (polydispersity index, PDI) (Mw/Mn) juga penting selama proses analisis KPJ dan separasi berhubungan pada polimer selulosa.
Selulosa secara natural memiliki derajat polimerisasi sekitar  10000 dengan berat molekul sekitar 2.000.000 g mol^-1. Bergantung pada metode isolasi, polimer selulosa terlihat memiliki derajat polimerisasi rata-rata 300-3000 dan konsekuensinya mempunyai berat molekul rata-rata 50.000-500.000 g mol^-1. Selama proses hidrolisis, dikarenakan pemutusan rantai, berat molekul MCC berkurang dibandingkan pada selulosa asal dan rentang berkurang antara 30.000 dan 500.000 g mol^-1. Derajat polimerisasi ini biasanya kurang dari 400. Penentuan derajat polimerisasii selulosa terbatas pada dua metode: viskometri dan kromatografi permeasi jel (KPJ). KPJ juga digunakan untuk mengkarakterisasi sampel turunan selulosa seperti nitroselulosa atau selulosa trikarbanilat.

4. Thermal analysis
Analisis thermogravimetry (TGA) dan differential scanning calorimetry (DSC) umumnya digunakan untuk mengetahui sifat termal dan degradasi sampel selulosa. Umumnya, kurva TGA dari MCC menunjukkan tahapan degradasi, yang mengindikasikan kehilangan berat sampel. Tahapan pertama menunjukkan kehilangan air dari selulosa dengan region antara 60 - 140 derajat Celsius. Tahapan kedua adalah dehidrasi dekarboksilasi, depolimerisasi dan dekomposisi unit glikosil dalam selulosa yang diikuti oleh pembentukan residu char pada rentang 250-450 derajat Celsius. 
Analisis DSC dari MCC mengindikasikan kehadiran puncak endoterm secara umum, yang berkaitan dengan dekomposisi utama dikarenakan penguapan selulosa menjadi levoglucosan dan charring. Dibandingkan selulosa, MCC membutuhkan energi tinggi untuk didegradasi dikarenakan tingginya derajat molekul. Kehadiran region kristalin pada MCC menghasilkan berat residu yang lebih besar, dikarenakan jumlah yang lebih banyak pada daerah kristalin pada MCC yang secara intrinsik tahan api. Menurut Adel dkk., dergradasi selulosa berkontribusi pada perubahan senyawa volatil sedangakan degradasi lignin berhubungan dengan sifat degradasi termal.

5. X-ray diffraction (XRD)
Difraksi sinar-X (X-ray diffraction, XRD) umumnya digunakan untuk menganalisis identitas padatan kristalin berdasarkan struktur skala atom dari material. Berbagai studi menunjukkan indeks kekristalan dan ukuran dari MCC yang menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan selulosa ketika diuji dengan XRD dengan biomassa lignoselulosa yang berbeda. Kekristalan yang lebih tingg pada MCC disebabkan oleh proses hidrolisis yang menyebabkan pemecahan hidrolitik ikatan glikosidik dan menyebabkan penataan ulang molekul selulosa. Jika ukuran dan indeks kekristalan bertambah, kekerasan struktur selulosa menjadi lebih baik dibandingkan kuat tarik serat. Kekuatan tarik yang lebih tinggi diharapkan meningkatkan sifat mekanik dari material komposit. Di sisi lain, menurut Kumar dkk., sejumlah besar lignin dikurangi selama perlakuan alkali yang kemudian digunakan untuk ekstraksi selulosa, sedangkan jumlah residu lignin yang amorf diusir selama hidrolisis asam terhadap MCC.


adapted from, "Microcrystalline cellulose: Isolation, characterization and bio-composites application-A review", by D. Trache and coworkers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POTENSI ALIH FUNGSI TUAK SULING NIAS

 Introduksi Di sekitar tahun 2018 terdapat informasi tentang pelarangan penjualan tuak Nias. Hal ini mengakibatkan masyarakat Nias yang suda...