Tulisan ini
dilatar-belakangi oleh kesadaran pentingnya memberikan kesempatan seseorang
(atau sekelompok) yang berada di luar garis “ideal” atau “aturan” untuk
menyelesaikan permasalahan bangsa. Fakta sosial dan sejarah menyatakan bahwa
banyak tokoh-tokoh yang mampu mendobrak
dan keluar dari rutinitas dan tuntutan background (apakah itu pendidikan, apakah itu budaya, apakah itu
ajaran kepercayaan) yang dimilikinya dalam upaya mengangkatkan harkat dan
martabatnya bahkan kelompok pun bangsa.

Tidak
mengherankan, keputusan Presiden Jokowi untuk mengangkatnya sebagai Menteri
Kelautan dan Perikanan, semata-mata karena dia adalah “beyond of rules”. Bukan sedikit pakar-pakar Kelautan, pakar-pakar
Perikanan, praktisi-praktisi bidang yang relate
yang secara “rules” dipandang lebih tepat menduduki jabatan tersebut, tetapi
Presiden melihat dari sisi potensial sang Peri Laut tersebut. Secara pribadi,
saya sangat salut dengan keputusan Presiden tersebut, karena ini merupakan starting untuk memperkenalkan
figur-figur yang tidak biasa, yang potensial mendobrak permasalahn bangsa
selama ini. Susi Pudjiastuti meresponnya dengan kerja nyata. Tidak lama
menjabat Menteri, gebrakannya menuai banyak apresiasi dan tidak jarang juga
kritik. Tetapi beliau menjawabnya dengan data dan fakta, bahwa kajiannya yang
praktis justeru mampu mengantarkan Indonesia menjadi Jalesveva Jayamahe.
November tahun 2016, Susi Pudjiastuti akhirnya diakui oleh Kemenristekdikti dan
melalui Promosi Doktor Honoris Causa bidang Kebijakan Kelauatan dan Perikanan
oleh Universitas Diponegoro, mengantarkan beliau sebagai figur yang tanpa dia sadari berdampak pada pengakuan
secara Akademik atas pencapaiannya selama ini. Bahkan belakangan ini, Institut
Teknologi Sepuluh November, tahun 2017 tidak ketinggalan memberikan gelar
Doktor Kehormatan di bidang Manajemen Perikanan pula.
Dari sejarah
pula kita dapat belajar tentang tokoh-tokoh besar yang bekerja dan berkarya serta
mengabdi di luar apa yang sekedar dimilikinya. Bekerja tanpa kekakuan “kutukan”
aksesoris yang dilekatkan dan ditakdirkan kepada mereka. Tidak heran The Founding Fathers Republik Indonesia
Dwitunggal Soekarno-Hatta, adalah tokoh yang tidak biasa, merekalah tokoh yang
membuktikan dirinya sebagai “beyond of rules”.
Bagaimana tidak, Soekarno yang adalah Insinyur dan Hatta yang adalah Ekonom,
terpanggil memimpin bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia,
di tengah-tengah ancaman perpolitikan yang rentan dengan peperangan, sebagai
efek Perang Dunia II. Pasangan dwitunggal tersebut keluar dari zona aman mereka
untuk tampil, dengan penuh tanggung jawab untuk membuktikan Negara yang baru lahir
tersebut telah memiliki tanah air, memiliki rakyat dan itu harus diakui oleh
dunia.
Pengantar
ini, tentunya membuka setidaknya wawasan pembaca, tentang apa yang saya
maksudkan dengan “beyond of rules”.
Mengapa Pemerintah harus kaku, dalam menetapkan figur dan rekan pengeksekusi
visi dan misinya? Atau Pemerintah justru tidak banyak melihat, mendengar,
merasakan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat melalui aspek-aspek.
Birokrasi pemerintah, baiknya belajar dari BUMN, yang lebih soft menerima karyawannya, bukan harus
kelinieran dengan bidang pendidikan yang dimilikinya, tetapi lebih pada potensi
yang ada dalam diri calon karyawan tersebut (meskipun tidak dapat digeneralisir
untuk semua). Tetapi setidaknya, bidang-bidang yang lebih membutuhkan
managerial tidak harus diplot oleh kondisi background
pendidikannya. Saya ambil contoh, seorang Pejabat Fungsional dengan potensi
yang dimilikinya, melampaui apa yang disyaratkan pada tugas pokoknya, memiliki
potensi (peluang) untuk masuk ke bidang struktural (sebut saja pemerintahan),
tidak harus menunggu bahwa dia haruslah lulusan ilmu pemerintahan, yang secara
hemat saya memiliki template yang jelas utk dapat dilaksanakan. Misalnya lagi,
seorang dokter (Fungsional khusus) memiliki potensi manajerial yang sangat
mumpuni, karena hemat saya, pekerjaaan apapun dia, memiliki irisan manajerial (praktikal).
Kompetensi kepribadian merupakan cerminan dari manajemen dirinya, demikian juga
kompetensi profesionalnya, adalah hasil dari manajemen keprbadiannya, demikian
juga interaksi yang baik dengan kolega dan sebagainya, hal-hal ini saya sebut
sebagai potensi yang dia miliki. Belum lagi, dokter yang tahu lapangan
kebutuhan, justru lebih berpengalaman akan kebutuhan bidang dan aspek kesehatan
itu ada di mana. Melihat fenomena tersebut, tidaklah berkesalahan seandainya
sang dokter menjadi Kepala Dinas Kesehatan, kalau memang yang pure birokrat bidang tersebut justru
masih meraba-raba akan pemecahan masalah yang ada. Tetapi perlu hati-hati, hal
ini merupakan pilihan karena kebutuhan urgent,
bukan berarti membabi buta dalam memutuskannya. Demikian juga seorang guru yang
sudah malang melintang di dunia pendidikan, memiliki karya yang banyak,
berpengalaman sebagai direktur di sekolah dasar/menengah, mumpuni, tidak berkesalahan
didaulat mengisi jabatan strategis di instansi induknya Dinas Pendidikan. Hemat
saya, problematika dunia pendidikan, lebih terpampang nyata kepada pelakunya
(praktisi) dibandingkan staf yang besar dari meja di kantoran saja. Atau bahkan
negeri kita sendiri, kita melihat dinamika politik, sosok Ir. Joko Widodo
seorang insinyur yang berejahwantah menjadi seorag pebisnis mebel, justru
membuktikan dirinya sebagai solusif melalui karir politiknya sebagai Walikota,
Gubernur hingga Presiden RI sekarang ini. Dan masih banyak contoh ekstrem
lainnya berkenaan dengan hal tersebut di atas.
Alangkah
tidak elok, jika kepercayaan diri itu muncul dari sang “beyond of rules”. Harusnya memang dilirik oleh si pemangku
kepentingan. Sayangnya, fakta berbicara lain tatanan birokrasi masih kaku, dan
dikuasai oleh kepentingan praktis, kepentingan politis, tidak memberikan ruang “beyond
of rules” tumbuh dan berkembang. Yang
lahir justeru kepercayaan diri dari sosok (oknum) atau kelompok-kelompok
tertentu yang mengedepankan kepentingan praktisnya dan cenderung tidak
dibarengi dengan penguasaan pada masalah, berakibat menghadirkan birokrasi yang
mandek, tidak ada gebrakan. Tidak jarang kita menemukan, birokrat (misalnya di
daerah) hanya sebagai simbol dalam instansinya, sedangkan program yang
ditawarkan tidak ada sesuatu yang baru, ataupun kalau mereka adalah bawahan,
maka mereka berperan asal bapak senang (ABS), sungguh sangatlah amatir.
Penulis
menawarkan, agar peluang menghadirkan sosok “beyond of rules” dengan kepribadian dan pengalaman mumpuni di
berbagai perikehidupan sebagai alternatif dalam mengurai permasalahan bangsa
kita yang sangat pelik ini adalah nyata diterapkan. Peran kuncinya adalah pelaku
Pemimpinnya. Alih-alih memberdayakan sosok “beyond
of rules”, maka Pemimpin juga haruslah sosok yang “beyond of rules”. Seorang sosok pemimpin yang “beyond of rules” memiliki naluri
dalam menelusuri keberadaan dan kondisi yang menjadi kekuatan dan kelemahan
medan kerja yang diembannya. Sinergisitas antara pemimpin dan rekanan yang “beyond of rules” diharapkan
mampu menghasilkan suatu tatanan organisasi (sebutlah itu birokrasi) yang baik.
Penulis
lebih tepat menyebutkan bahwa pemimpin yang “beyond of rules” adalah “takdir”.
Ada kecenderungan bahwa bukanlah
dorongan dirinya yang mengantarkan dia menjadi pemimpin tersebut, tetapi
keadaan yang menghadirkan dianya pada saat yang tepat sebagai hasil sesuatu
yang sudah “dinubuatkan”. Pendapat
saya mungkin saja kontroversi, tetapi ini berdasarkan permenungan tentang pemimpin-pemimpin
di dunia. Berapa banyak upaya dalam melengserkan pemimpin, agar dia duduk
sebagai pemimpin. Kudeta yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok yang haus
kekuasaan, juga akan berakhir pada lengsernya mereka akibat kedikatatoran yang
mereka lahirkan. Pemimpin sejati sesungguhnya adalah terlahir, dan kehadirannya adalah unik bahkan banyak yang di luar
dugaan logika, akan tetapi dirindu dan diterima pada akhirnya. Dipercaya atau
tidak, pemimpin sejati tidaklah haus kekuasaan, tetapi memilih untuk peka meskipun
dalam dia untuk menyelesaikan permasalahan kemashalatan. Kisah Mahatma Gandhi
dan Bunda Teresa adalah contoh dari sosok yang saya maksudkan.
Akhirnya, sosok
“beyond of rules” adalah sesuatu yang
unik dan menarik, bahkan tak terduga. Kerangka berpikir tentang kehadiran dan
kemunculannya sebagai “takdir” haruslah dipahami dalam wujud sosok tanpa
pamrih, yang menanggalkan kepentingan sendiri dan mengutamakan kepentingan
orang lain (orang banyak). Pola yang tampak klasik, tetapi sesungguhnya ini
yang memang kita butuhkan.
(by Sun Theo C.L. Ndruru)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar