Untuk mempelajari stuktur dan sifat mikrokristalin selulosa (MCC),
beberapa teknik telah banyak dilakukan peneliti. Analisis-analisis
tersebut antara lain FTIR, CP/MAS C-13 NMR, GPC, analisis termal, XRD
dan mikroskop elektron.
1. Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR)
Spektroskopi infra merah (infrared) adalah teknik paling cepat dan murah
untuk mempelajari polimer. FTIR adalah pengukuran intensitas dan
panjang gelombang serappan radiasi IR dari suatu sampel. Pada era
modern, FTIR telah digunakan secara mendalam dalam memonitoring struktur
kimia dan gugus fungsi dari senyawa lignoselulosa. Contohnya, berbagai
aplikasi untuk industri biologis, biokimia dan makanan yang digunakan
luas pada region 4000-400 cm^-1 di mana serapan pita meliputi transisi
antara keadaan energi vibrasi dan rotasi substrat dari molekul.
Pita serapan lebar akan diamati pada 3400-35000 cm^-1 atau 3000-3600
cm^-1 di dalam spektra FTIR, yang mengindikasikan kehadiran vibrasi ulur
-OH dari alfa selulosa saat struktur kimia MCC dianalisis dari biomassa
seperti sekam padi (rice hulls), kulit kacang (bean hulls), serat alfa,
rami, kapas perak, tanan kosong kelapa sawit, rumput pakan ternak
(fodder grass), limbah serat pisang, kulit kacang tanah dan bongkol
jagung. Contoh untuk serat Alfa puncak pada 1512 cm^-1 menunjukkan
keberadaan lignin. Akan tetapi, perlakuan alkali memutuskan ikatan
glikosida antara lignin dan fraksi karbohidrat lainnya, yang
menghasilkan gangguuan dari struktur lignin dalam selulosa (Alfa-C).
Oleh karena itu, kehadiran tingkat kristalin dalam sampel MCC (dari
Alfa- MCC dan C-MCC) dapat diamati dari 2901-2905 cm^-1. Serapan air
oleh selulosa menunjukkan puncak serapan pad 1645 cm^-1 pada Alfa-MCC
sedangkan MCC pada kapas perak, rami, sekam padi, dan kulit kacang
menunjukkan puncak serapan air pada 1640 dan 1645 cm^-1 pada tandan
kosong kelapa sawit. Keberadaan dari serapan molekul air dikarenakan
interaksi kuat antara selulosa dan air dan kehadiran sejumlah dari
hemiselulosa.
Pita serapan pada 1425, 1430, 1432 dan 1436 cm^-1 adalah interaksi
hidrogen antar-molekul pada C6 gugus aromatik yang meningkat pada sampel
MCC pada sekam padi, kulit kacang, tandan kosong kelapa sawit, serat
Alfa, secara berturut-turut. Studi alinnya juga terlihat pada pita
antara 1157-1164 cm^-1 berhubungan dengan ulur C-O-C dari betha-1-4-glikosida. Vibrasi C-H dari selulosa berhubungan dengan ikatan betha-glikosida yang terjadi pada 895-901 cm^-1.
2. Solid-state cross-polarization C-13 nuclear magnetic resonance (CP/MAS C-13 NMR)
Spektroskopi resonansi magnetik inti (RMI) digunakan untk mengukur
serapan radiasi frekuensi radio oleh inti atom bersama-sama dengan spin
nonzero dalam medan magnet kuat. RMI adalah metode non-destructive
yang mampu menginvestigasi sifat struktur pada fase padatan dan fase
larutan. Diferensiasi antara molekul dengan mobilitas dilakukan
berdasarkan teknik iini karena dia sensitif terhadap dinamika. Industri pulp menggunakan NMR untuk mempelajari produk akhir dari proses pulping karena informasi komposisi yang detail pada struktur molekul sampel seperti selulosa dan lignin yang diperoleh.
Puncak karbon selulosa C1, C4 dan C6 terlihat pada daerah antara 60 dan
105 ppm, yang mana geseran berturut-turut di sekitar 102-108 ppm, 80-92
ppm dan 57-67 ppm. Puncak karbon selulosa C2, C3 dan C5 terlihat pada
daerah 60-105 ppm yaitu pada sekitar 72 dan 79 ppm. Keberadaan dari
puncak-puncak itu berhubungan dengan aksestabilitas parakristalin dan
amorfitas, dan inaksestabilitas permukaan serat. Resonansi tajam pada
geseran 86-92 ppm dari keberdaaan karbon C4 pada region kristalin dan
domain parakristalin, yang umumnya ditemukan dalam selulosa pinus lobiolly dan
MCC dari bagas, serat fiberdan pohon kapas sedangkan kehadiran region
amorf berhubungan dengan daerah resonansi atas yang lebar pada 80-86
ppm. Oleh karena itu, karbon C4 memiliki area resonansi kristalin dan
amorf.
3. Gel permeation chromatography (GPC)
Kromatografi permeasi jel (KPJ) adalah teknik yang menyediakan infromasi
detail tentang distribusi berat molekul dan berat molekul relatif dari
polimer selulosa. Berat molekul dari polimer selulosa dapat
dikarakterisasi dengan dua jenis yaitu berat molekul rata-rata jumlah
(Mn) dan berat molekul rata-rata berat (Mw). Selain itu, indeks
polidispersitas (polydispersity index, PDI) (Mw/Mn) juga penting selama
proses analisis KPJ dan separasi berhubungan pada polimer selulosa.
Selulosa secara natural memiliki derajat polimerisasi sekitar 10000
dengan berat molekul sekitar 2.000.000 g mol^-1. Bergantung pada metode
isolasi, polimer selulosa terlihat memiliki derajat polimerisasi
rata-rata 300-3000 dan konsekuensinya mempunyai berat molekul rata-rata
50.000-500.000 g mol^-1. Selama proses hidrolisis, dikarenakan pemutusan
rantai, berat molekul MCC berkurang dibandingkan pada selulosa asal dan
rentang berkurang antara 30.000 dan 500.000 g mol^-1. Derajat
polimerisasi ini biasanya kurang dari 400. Penentuan derajat
polimerisasii selulosa terbatas pada dua metode: viskometri dan
kromatografi permeasi jel (KPJ). KPJ juga digunakan untuk
mengkarakterisasi sampel turunan selulosa seperti nitroselulosa atau
selulosa trikarbanilat.
4. Thermal analysis
Analisis thermogravimetry (TGA) dan differential scanning calorimetry
(DSC) umumnya digunakan untuk mengetahui sifat termal dan degradasi
sampel selulosa. Umumnya, kurva TGA dari MCC menunjukkan tahapan
degradasi, yang mengindikasikan kehilangan berat sampel. Tahapan pertama
menunjukkan kehilangan air dari selulosa dengan region antara 60 - 140
derajat Celsius. Tahapan kedua adalah dehidrasi dekarboksilasi,
depolimerisasi dan dekomposisi unit glikosil dalam selulosa yang diikuti
oleh pembentukan residu char pada rentang 250-450 derajat Celsius.
Analisis DSC dari MCC mengindikasikan kehadiran puncak endoterm secara
umum, yang berkaitan dengan dekomposisi utama dikarenakan penguapan
selulosa menjadi levoglucosan dan charring. Dibandingkan
selulosa, MCC membutuhkan energi tinggi untuk didegradasi dikarenakan
tingginya derajat molekul. Kehadiran region kristalin pada MCC
menghasilkan berat residu yang lebih besar, dikarenakan jumlah yang
lebih banyak pada daerah kristalin pada MCC yang secara intrinsik tahan
api. Menurut Adel dkk., dergradasi selulosa berkontribusi pada perubahan
senyawa volatil sedangakan degradasi lignin berhubungan dengan sifat
degradasi termal.
5. X-ray diffraction (XRD)
Difraksi sinar-X (X-ray diffraction, XRD) umumnya digunakan untuk
menganalisis identitas padatan kristalin berdasarkan struktur skala atom
dari material. Berbagai studi menunjukkan indeks kekristalan dan ukuran
dari MCC yang menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan
selulosa ketika diuji dengan XRD dengan biomassa lignoselulosa yang
berbeda. Kekristalan yang lebih tingg pada MCC disebabkan oleh proses
hidrolisis yang menyebabkan pemecahan hidrolitik ikatan glikosidik dan
menyebabkan penataan ulang molekul selulosa. Jika ukuran dan indeks
kekristalan bertambah, kekerasan struktur selulosa menjadi lebih baik
dibandingkan kuat tarik serat. Kekuatan tarik yang lebih tinggi
diharapkan meningkatkan sifat mekanik dari material komposit. Di sisi
lain, menurut Kumar dkk., sejumlah besar lignin dikurangi selama
perlakuan alkali yang kemudian digunakan untuk ekstraksi selulosa,
sedangkan jumlah residu lignin yang amorf diusir selama hidrolisis asam
terhadap MCC.
adapted
from, "Microcrystalline cellulose: Isolation, characterization and
bio-composites application-A review", by D. Trache and coworkers.