Kamis, 21 Juni 2018

Karakterisasi Material Polimer: Studi Kasus Mikrokristalin Selulosa (MCC)

Untuk mempelajari stuktur dan sifat mikrokristalin selulosa (MCC), beberapa teknik telah banyak dilakukan peneliti. Analisis-analisis tersebut antara lain FTIR, CP/MAS C-13 NMR, GPC, analisis termal, XRD dan mikroskop elektron.

1. Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR)
Spektroskopi infra merah (infrared) adalah teknik paling cepat dan murah untuk mempelajari polimer. FTIR adalah pengukuran intensitas dan panjang gelombang serappan radiasi IR dari suatu sampel. Pada era modern, FTIR telah digunakan secara mendalam dalam memonitoring struktur kimia dan gugus fungsi dari senyawa lignoselulosa. Contohnya, berbagai aplikasi untuk industri biologis, biokimia dan makanan yang digunakan luas pada region 4000-400 cm^-1 di mana serapan pita meliputi transisi antara keadaan energi vibrasi dan rotasi substrat dari molekul.
Pita serapan lebar akan diamati pada 3400-35000 cm^-1 atau 3000-3600 cm^-1 di dalam spektra FTIR, yang mengindikasikan kehadiran vibrasi ulur -OH dari alfa selulosa saat struktur kimia MCC dianalisis dari biomassa seperti sekam padi (rice hulls), kulit kacang (bean hulls), serat alfa, rami, kapas perak, tanan kosong kelapa sawit, rumput pakan ternak (fodder grass), limbah serat pisang, kulit kacang tanah dan bongkol jagung. Contoh untuk serat Alfa puncak pada 1512 cm^-1 menunjukkan keberadaan lignin. Akan tetapi, perlakuan alkali memutuskan ikatan glikosida antara lignin dan fraksi karbohidrat lainnya, yang menghasilkan gangguuan dari struktur lignin dalam selulosa (Alfa-C). Oleh karena itu, kehadiran tingkat kristalin dalam sampel MCC (dari Alfa- MCC dan C-MCC) dapat diamati dari 2901-2905 cm^-1. Serapan air oleh selulosa menunjukkan puncak serapan pad 1645 cm^-1 pada Alfa-MCC sedangkan MCC pada kapas perak, rami, sekam padi, dan kulit kacang menunjukkan puncak serapan air pada 1640 dan 1645 cm^-1 pada tandan kosong kelapa sawit. Keberadaan dari serapan molekul air dikarenakan interaksi kuat antara selulosa dan air dan kehadiran sejumlah dari hemiselulosa.
Pita serapan pada 1425, 1430, 1432 dan 1436 cm^-1 adalah interaksi hidrogen antar-molekul pada C6 gugus aromatik yang meningkat pada sampel MCC pada sekam padi, kulit kacang, tandan kosong kelapa sawit, serat Alfa, secara berturut-turut. Studi alinnya juga terlihat pada pita antara 1157-1164 cm^-1 berhubungan dengan ulur C-O-C dari betha-1-4-glikosida. Vibrasi C-H dari selulosa berhubungan dengan ikatan betha-glikosida yang terjadi pada 895-901 cm^-1.

2. Solid-state cross-polarization C-13 nuclear magnetic resonance (CP/MAS C-13 NMR)
Spektroskopi resonansi magnetik inti (RMI) digunakan untk mengukur serapan radiasi frekuensi radio oleh inti atom bersama-sama dengan spin nonzero dalam medan magnet kuat. RMI adalah metode non-destructive yang mampu menginvestigasi sifat struktur pada fase padatan dan fase larutan. Diferensiasi antara molekul dengan mobilitas dilakukan berdasarkan teknik iini karena dia sensitif terhadap dinamika. Industri pulp menggunakan NMR untuk mempelajari produk akhir dari proses pulping karena informasi komposisi yang detail pada struktur molekul sampel seperti selulosa dan lignin yang diperoleh. 
Puncak karbon selulosa C1, C4 dan C6 terlihat pada daerah antara 60 dan 105 ppm, yang mana geseran berturut-turut di sekitar 102-108 ppm, 80-92 ppm dan 57-67 ppm. Puncak karbon selulosa C2, C3 dan C5 terlihat pada daerah 60-105 ppm yaitu pada sekitar 72 dan 79 ppm. Keberadaan dari puncak-puncak itu berhubungan dengan aksestabilitas parakristalin dan amorfitas, dan inaksestabilitas permukaan serat. Resonansi tajam pada geseran 86-92 ppm dari keberdaaan karbon C4 pada region kristalin dan domain parakristalin, yang umumnya ditemukan dalam selulosa pinus lobiolly dan MCC dari bagas, serat fiberdan pohon kapas sedangkan kehadiran region amorf berhubungan dengan daerah resonansi atas yang lebar pada 80-86 ppm. Oleh karena itu, karbon C4 memiliki area resonansi kristalin dan amorf.

3. Gel permeation chromatography (GPC)
Kromatografi permeasi jel (KPJ) adalah teknik yang menyediakan infromasi detail tentang distribusi berat molekul dan berat molekul relatif dari polimer selulosa. Berat molekul dari polimer selulosa dapat dikarakterisasi dengan dua jenis yaitu berat molekul rata-rata jumlah (Mn) dan berat molekul rata-rata berat (Mw). Selain itu, indeks polidispersitas (polydispersity index, PDI) (Mw/Mn) juga penting selama proses analisis KPJ dan separasi berhubungan pada polimer selulosa.
Selulosa secara natural memiliki derajat polimerisasi sekitar  10000 dengan berat molekul sekitar 2.000.000 g mol^-1. Bergantung pada metode isolasi, polimer selulosa terlihat memiliki derajat polimerisasi rata-rata 300-3000 dan konsekuensinya mempunyai berat molekul rata-rata 50.000-500.000 g mol^-1. Selama proses hidrolisis, dikarenakan pemutusan rantai, berat molekul MCC berkurang dibandingkan pada selulosa asal dan rentang berkurang antara 30.000 dan 500.000 g mol^-1. Derajat polimerisasi ini biasanya kurang dari 400. Penentuan derajat polimerisasii selulosa terbatas pada dua metode: viskometri dan kromatografi permeasi jel (KPJ). KPJ juga digunakan untuk mengkarakterisasi sampel turunan selulosa seperti nitroselulosa atau selulosa trikarbanilat.

4. Thermal analysis
Analisis thermogravimetry (TGA) dan differential scanning calorimetry (DSC) umumnya digunakan untuk mengetahui sifat termal dan degradasi sampel selulosa. Umumnya, kurva TGA dari MCC menunjukkan tahapan degradasi, yang mengindikasikan kehilangan berat sampel. Tahapan pertama menunjukkan kehilangan air dari selulosa dengan region antara 60 - 140 derajat Celsius. Tahapan kedua adalah dehidrasi dekarboksilasi, depolimerisasi dan dekomposisi unit glikosil dalam selulosa yang diikuti oleh pembentukan residu char pada rentang 250-450 derajat Celsius. 
Analisis DSC dari MCC mengindikasikan kehadiran puncak endoterm secara umum, yang berkaitan dengan dekomposisi utama dikarenakan penguapan selulosa menjadi levoglucosan dan charring. Dibandingkan selulosa, MCC membutuhkan energi tinggi untuk didegradasi dikarenakan tingginya derajat molekul. Kehadiran region kristalin pada MCC menghasilkan berat residu yang lebih besar, dikarenakan jumlah yang lebih banyak pada daerah kristalin pada MCC yang secara intrinsik tahan api. Menurut Adel dkk., dergradasi selulosa berkontribusi pada perubahan senyawa volatil sedangakan degradasi lignin berhubungan dengan sifat degradasi termal.

5. X-ray diffraction (XRD)
Difraksi sinar-X (X-ray diffraction, XRD) umumnya digunakan untuk menganalisis identitas padatan kristalin berdasarkan struktur skala atom dari material. Berbagai studi menunjukkan indeks kekristalan dan ukuran dari MCC yang menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan selulosa ketika diuji dengan XRD dengan biomassa lignoselulosa yang berbeda. Kekristalan yang lebih tingg pada MCC disebabkan oleh proses hidrolisis yang menyebabkan pemecahan hidrolitik ikatan glikosidik dan menyebabkan penataan ulang molekul selulosa. Jika ukuran dan indeks kekristalan bertambah, kekerasan struktur selulosa menjadi lebih baik dibandingkan kuat tarik serat. Kekuatan tarik yang lebih tinggi diharapkan meningkatkan sifat mekanik dari material komposit. Di sisi lain, menurut Kumar dkk., sejumlah besar lignin dikurangi selama perlakuan alkali yang kemudian digunakan untuk ekstraksi selulosa, sedangkan jumlah residu lignin yang amorf diusir selama hidrolisis asam terhadap MCC.


adapted from, "Microcrystalline cellulose: Isolation, characterization and bio-composites application-A review", by D. Trache and coworkers.

Rabu, 20 Juni 2018

Mikrokristalin Selulosa: Pengantar

Berbagai jenis material memainkan peran penting dalam peradaban modern. Antara lain, bahan berbasis polimer yang biasanya digunakan di berbagai industri yang terkait dengan peralatan kimia, listrik dan peralatan elektronik, otomotif, pesawat ruang angkasa, medis, penyimpanan energi dalam baterai dan superkapasitor. Material polimer ini telah menggantikan penggunaan bahan tradisional seperti keramik, gelas dan logam dalam beberapa bidang dikarenakan biayanya yang murah, ketersediaan, ringan, bahan kimia, kelembaman, kekuatan, dan kemudahan dalam pemrosesan.

Polimer-polimer ini memungkinkan pengembangan luas dalam berbagai jenis bahan seperti plastik, elastomer, serat buatan, dan komposit. Namun, menipisnya sumber daya fosil ditambah dengan peningkatan kesadaran lingkungan dan masalah kesehatan bersinergis dalam menyediakan produk dan bahan yang muncul yang memuaskan kepedulian lingkungan dan kemandirian dari sumber petrokimia. Akibatnya, prinsip-prinsip keberlanjutan, eko-efisiensi, ekologi industri, kimia hijau dan rekayasa sedang diperkenalkan ke pengembangan berikutnya menghasilkan produk, bahan, dan proses.

Selama dua dekade terakhir, banyak perhatian diberikan terhadap penggunaan bahan berbasis alam yang dapat mencegah meluasnya ketergantungan pada bahan bakar fosil. Tempat yang ramah lingkungan diharapkan dapat meningkatkannya secara signifikan; hal ini membutuhkan pencarian beberapa alternatif baru yang keberlanjutan dengan menjelajahi secara luas sumber daya alam yang tersedia. Dengan demikian, ada keinginan dalam pengembangan penelitian bio-komposit dlam rangka mengurangi jumlah komposit sintetik berbasis minyak bumi karena sebagian besar komposit polimer berbasis minyak bumi tidak dapat terurai. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, bagi alam untuk menurunkan bahan-bahan ini. Biokomposit polimer sangat menarik. Perbaikan dalam sifat mekanik bio-komposit adalah prasyarat kunci untuk meningkatkan potensi penggunaannya dalam beberapa aplikasi. Sekarang ini, penyesuaian sifat fisikokimia dan mekanis seperti itu komposit telah terbukti bergantung pada karakteristik intrinsiknya, pengaturan ruang fase dan sifat antarmuka. Mereka dapat diperoleh dari matriks biopolimer dengan serat yang asal-usulnya dapat ditemukan baik sebagai mineral alami atau sebagai bahan baku tanaman terbarukan. Keuntungan serat alami lebih dari yang buatan seperti aramid, karbon, dan kaca, adalah sebagai berikut: dapat diperbarui, dapat terbiodegradasi, murah, densitas rendah dan sifat mekanik yang baik.

Manusia telah menggunakan selulosa selama ribuan tahun sebagai bahan penting untuk penyemprotan dan pakaian. Berbeda dengan selulosa alam, aplikasi biopolimer ini sebagai bahan baku kimia dimulai hanya 170 tahun yang lalu dengan penemuan ini dari turunan selulosa pertama oleh Braconnot, tetapi kemudian berkembang menjadi volume produksi lebih dari 5 juta ton per tahun selama abad ini. Seperti dilansir oleh Berglund, Boldizar dkk. pertama sekali menunjukkan selulosa bisa digunakan untuk memperkuat material polimer. Jenis selulosa yang dapat memperkuat material polimer tersebut adalah selulosa mikrokristalin. MCC telah banyak digunakan terutama dalam kosmetik, makanan, suspensi industri stabilizer, pertahanan dan medis.  

Biokomposit Mikrokristalin selulosa sekarang muncul sebagai alternatif komposit polimer. Bio-komposit ramah lingkungan ini memiliki potensi untuk menjadi produk baru abad ini dan remediasi parsial dari beberapa masalah lingkungan. Rekayasa bio-komposit menggunakan penguatan MCC saat ini sedang dikembangkan untuk seiring kebutuhan beragam untuk komoditas ramah lingkungan dan ekonomis produk dengan kinerja tinggi, daya tahan dan sepenuhnya teknologi berkelanjutan. Generasi bio-komposit selanjutnya membutuhkan pembuatan produk dan bahan yang jauh melebihi arus harapan. Apakah itu untuk otomotif, obat-obatan, bangunan, laut, atau aerospace, material semacam itu memiliki sifat yang canggih, biaya lebih rendah, dapat diandalkan dan mudah beradaptasi.

Karena sifat ramah lingkungannya, produk MCC kini dapat dengan mudah ditemukan di seluruh siklus hidup. Isolasi serat MCC dan aplikasinya dalam material komposit telah menarik banyak perhatian karena kekuatan mekanik dan kekakuannya yang tinggi dikombinasikan dengan terbarukan, biodegradabilitas dan ringan, hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya laporan ilmiah yang diterbitkan dalam dua dekade terakhir. Ini karena sejumlah unik karakteristik dan sifat MCC yang mencakup keterbaruan, non-toksisitas, biodegradabilitas, sifat mekanik yang tinggi, besar luas permukaan, kepadatan rendah, biokompatibilitas, dll. Aplikasi terbatas serat MCC hingga saat ini dikarenakan proses pemisahan dari sumber alami dan ketidakcocokan yang melekat dan dispersibilitas serat selulosa hidrofilik dan sangat polar dengan serat selulosa dengan matriks polimer hidrofobik dan non-polar. 

Dibandingkan dengan polimer polisakarida alami lainnya, MCC juga memiliki beberapa kekurangan untuk beberapa aplikasi, seperti, keterbasahan rendah, penyerapan air, ketidakcocokan dengan sebagian besar matriks polimer dan pembatasan suhu pemrosesan. Dengan demikian, berbagai solusi telah disarankan dalam literatur dalam mengatasi kerugian ini. Namun, belum ada ulasan komprehensif tentang perbedaan metode yang digunakan untuk mengisolasi partikel MCC dan aplikasi di bio-kompositnya. 

adapted from, "Microcrystalline cellulose: Isolation, characterization and bio-composites application-A review", by D. Trache and coworkers.

Nanoteknologi: Ulasan khusus Nanoselulosa

Bagi yang berkonsentrasi pada pengembangan dan modifikasi material untuk keperluan teknologi, peristilahan nanoteknologi tidak lagi menjadi sesuatu yang unfamiliar. Ketika mencangkan program NNI (National Nanotechnology Initiative) tahun 2000, Presiden Bill Clinton (Amerika Serikat) menargetkan bahwa paling lambat tahun 2020 sebagian besar teknologi akan berbasis pada material skala nanometer. Sederhananya bahwa teknologi yang ada sekarang menggunakan material skala mikrometer akan diubah menjadi material berskala nanometer.

Tanpa kita sadari, nano teknologi sebenarnya terdapat pada alat-alat yang sehari-hari digunakan, seperti smartphone, komputer, pakaian, mobil, bahkan makanan. Tentunya penerapan nanoteknologi tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki oleh material berukuran nano tersebut. Material dalam ukuran nanometer juga memiliki sifat-sifat yang lebih kaya.

Para ilmuwan sepakat bahwa yang dapat dikelompokkan dalam skala nanometer adalah ukuran yang lebih kecil dari 100 nm. Pengembangan dari ukuran nano material adalah material nano struktur. Material nano struktur adalah material yang tersusun atas bagian-bagian kecil dengan bagian-bagian yang berukuran kurang dari 100 nm.
Nanopartikel, yaitu partikel dengan diameter kurang dari 100 nm. Nanopartikel disebut juga nanodot (titik nano)/quantum dot (titik kuantum).
Nanorod, yaitu semacam kawat atau silinder yang memiliki diameter kurang dari 100 nm, berapapun panjangnya. Nanorod kadang disebut juga nanowire. Orang telah berhasil membuat nanowire dengan panjang beberapa ratus mikrometer. Contohnya, pembuatan carbide nanorods (TIC, NbC, FeC, SiC dan BCx) dengan diameter antara 2 sampai 30 nm dan panjang hingga 20 mikrometer. 
Nano-ribbon adalah material berbentuk lembaran dengan ketebalan kurang dari 100 nm. 
Nano-sheet, material berbentuk lembaran dengan ketebalan kurang dari 100 nm. Perbedaan nanosheet dan nano-ribbon terletak pada dimensi lebarnya. Pada nano-ribbon, lebar material tidak terlalu besar (beberapa ratus nanometer) dan panjanganya jauh lebih besar daripada lebar. Sedangkan nano-sheet memiliki panjang yang hampir sama dengan lebar dan ukurannya ratusan nm hingga beberapa mikrometer. Nano-tube, material berbentuk silinder dengan ketebalan kulit silinder dengan ketebalan kulit silinder kurang dari 100 nm. Contoh yang terkenal adalah carbon nanotube dengan kulit silinder berupa satu beberapa lapis atom karbon. Nanotube lain yang berhasil dibuat adalah boron nitrida (BN) nanotube yang kulitnya terdiri dari beberapa atom boron dan nitrogen. Nano-porous, adalah material yang mengandung sejumlah poos dan ukuran tiap poros kurang dari 100 nm. Contoh material ini adalah zeolite dan MCM-14 (silikon dioksida yang mengandung poros yang tersusun secara heksagonal).

Ulasan khusus tentang Nanoselulosa

Nanocellulose dapat disintesis melalui tiga proses, yaitu: mikroba/ bakteri, mekanik dan kimia, yang mengarah ke tiga kelas nano-selulosa. Nanoselulosa bakterial disintesis terutama dari mikroba, seperti alga, jamur (Klemm, Heublein, Fink, & Bohn, 2005) dan bakteri (AgrobacteriumSarcinaRhizobium dan GlucoacetobacterAcetobacter) (Brown, 1886; George dkk., 2014; Ullah, Wahid, Santos, & Khan, 2016). Proses yang digunakan untuk persiapan kelas kedua nanocellulose; nanocrystals selulosa (CNC) (Kumar, Negi, Choudhary, & Bhardwaj, 2014) atau nanocrystalline cellulose (NCC) (Brinchi, Cotana, Fortunati, & Kenny, 2013) atau selulosa nano-partikel (Bilbao-Sáinz et al., 2011) adalah dengan disintegrasi kimia terhadap selulosa murni, terutama oleh hidrolisis asam (Bilbao-Sáinz et al., 2011; Kumar et al., 2014). Kelas ketiga nanocellulose dikenal sebagai nanofibril selulosa (CNFs), juga disebut sebagai nano-fibrillated cellulose (NFC) atau selulosa micro-fibrillated (MFC) (Nakagaito & Yano, 2005) diekstraksi oleh disulgrating dispersi selulosa secara mekanik dalam air (Alemdar & Sain, 2008; Bhatnagar & Sain, 2005; Chakraborty, Sain, & Kortschot, 2005), nitrogen cair (cryocrushing) atau penggilingan.  

Polimer Elektrolit Padatan (Solid Polymer Electrolyte): PEO/PMMA + LiCF3So3

Polimer elektrolit padatan (Solid polymer electrolytes, SPEs)  telah dikenal sebagai material baru yang paling fleksibel, tahan bocor, dan ringan untuk pembuatan perangkat konduksi ion khususnya baterai isi ulang untuk peralatan elektrolit portabel. Polimer elektrolit padatan adalah kompleks polimer dengan kation dari garam dopant (pengisi) dan kebanyakan sangat amorf. Akan tetapi rendahnya konduktivitas ion pada suhu ruang membatasi penggunaannya pada beberapa aplikasi teknologi. Pada jenis elektrolit ini pergerakan rantai polimer adalah penting dalam transportasi ion. Oleh karena itu, pengetahuan bagaimana ion-ion dihubungkan dengan dinamika rantai polimer dari struktur kompleks polimer elektrolit padatan multifasa dan modifikasi pada strukturnya dengan metode preparasi untuk peningkatan konduktivitas ion adalah isu utama pada saat sekarang ini.  

Hingga saat ini, pekerjaan terbesar dalam progres material polimer elektrolit padatan dengan pilihan polimer dan garam logam alkali untuk meningkatkan konduktivitas ion yang tinggi (di atas 10^-5 S cm^-1) pada suhu ruang pada aplikasi perangkat realistis. Kebanyakan, kompleks berbahan matriks polietilena oksida (PEO) dengan variasi garam litium telah intens dilakukan pada bidang penelitian ini. PEO memiliki energi kisi yang rendah, suhu transisi gelas yang rendah, kemampuan untuk melarutkan garam logam alkali yang besar dan mudah membuat film fleksibel. Fakta-fakta ini membuatnya menjadi polimer masa depan pada preparasi polimer elektrolit padatan. Tetapi kekristalan dari PEO adalah kelemahan utama karena transport ion efektif hanya dicapai sepenuhnya pada medium amorf dari polimer host. Selain PEO, matriks poly(methylmethacrylate) (PMMA), yang mempunyai amorfitas lebih dari 96%, yang biasa diinginkan pada preparasi material polimer elektrolit padatan. Gugus fungsi C=O dari PMMA yang mendonasikan elektron aktif, dapat dengan mudah berkoordinasi dengan kation dari garam logam alkali, yang menghasilkan kompleks PMMA-garam. Meskipun PMMA ringan dengan transparasi yang tinggi, kuat dan stabil dimensi, tetapi rapuh menyebabkannya terbatas pada kesesuaiannya pada industri dan teknologi polimer elektrolit padatan berbahan PMMA.

Pada kemajuan material polimer elektrolit padatan, pekerjaan selanjutnya merupakan peningkatan elektrolit berbasis matriks PEO-PMMA untuk memperbaiki kelemahan dari polimer asal. Keuntungan dari blend ini adalah penambahan PEO dalam matriks PMMA menghasilkan peningkatan fleksibilitas dan mengurangi kerapuhan, sementara penambahan PMMA meningkatkan sifat amorf dari PEO. Sifat-sifat matriks blend PEO-PMMA  telah dikenal kesesuaiannya sebagai matriks blend terbaru untuk preparasi polimer elektrolit padatan.

adapted from "Role of preparation methods on structural and dielectric properties of plasticized polymer blend electrolytes; Correlation between ionic conductivity and dielectric parameter" by R.J. Sengwa and coworkers.

Selasa, 19 Juni 2018

Regenerasi Material Selulosa: Suatu Pengantar

Awal abad ke-21, trend dari iptek adalah kecenderungan terhadap material ramah lingkungan, sumber daya alam dan energi yang dapat diperbaharui, serta teknik-teknik dan proses-proses berkelanjutan. Penipisan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi, batu bara dan gas pada masa yang akan datang dan polusi lingkungan yang disebabkan oleh polimer berbasis minyak bumi memotivasi peningkatan permintaan  terhadap sumber daya alam yang dapat terbaharui, antara lain dapat didegradasi, bukan berbahan petroleum, karbon netral, berdampak rendah terhadap lingkungan, hewan/manusia dan aman terhadap risiko. Tema pertemuan nasional American Chemistry Society ke-239 (2010), 240 (2011), 243 (2012), 245 (2013), 247 (2014) dan 249 (2015) secara berturut-turut adalah "Chemistry of Life, "Chemistry of Energy & Food", "Chemistry & Materials for Energy" dan "Chemistry of Natural Resources". Tema-tema tersebut dianggap sebagai petunjuk dan pedoman untuk peningkatan dan pengembangan dalam ilmu kimia di seluruh dunia, menyarankan penggunaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui secara luas untuk menghasilkan material ramah lingkungan (enviroment-friendly) melalui pendekatan fisik tanpa reaksi kimia, untuk mencegah penggunaan atau penghasilan zat berbahaya, suatu komponen perbatasan internasional baru "green" dan prose pengembangan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, penelitian dan pengembangan biomassa yang dapat diperbaharui dihargai tinggi oleh pemerintah, komunitas bisnis dan akademis. The Technology Road Map for Plant/Crop-based Renewable Resources 2020. yang disponsori oleh Departemen Energi Amerika Serikat, telah menargetkan untuk mencapai 10% blok bangunan dasar kimia dari sumber daya alam berbasis tumbuhan pada tahun 2020. Hal ini menyebabkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui menjadi topik penting pada kehidupan abad ke-21. 

Pada dekade terakhir, terjadi peningkatan perhatian terhadap polimer alam dalam pengembangan produk dan bahan bakar yang ramah lingkungan dan biokompatibel, di antaranya selulosa merupakan sumber daya alam terbaharukan yang paling melimpah tersedia saat ini dan telah memperoleh perhatian khusus, dikarenakan keterbaharuannya, ketersediaannya, non toksik, keramahan terhadap lingkungan, kebiokompatibelan, kestabilan dan keterderivitabilitasan termal dan kimia. Tumbuhan menghasilkan lebih dari sepuluh milyar ton selulosa per tahun secara global, menyebabkan polisakarida ini reservoir karbon organik paling besar. Selulosa adalah rantai linier yang mengandung dua cincin anhidroglukosa ((C6H10O5)n), terikat bersama melalui sebuah oksigen yang terikat secara kovalen C1 dari cincin glukosa dan C4 dari cincin berdampingan (1-4 linkage), disebut betha 1-4 glukosida yang memberikan konformasi pita datar. Jumlah n adalah unit ulang setiap rantai yang bergantung pada sumbernya, misalnya n pada kayu kira-kira 10.000 dan pada kapas 15.000.

Konformasi panjang rantai selulosa yang relatif tinggi akibat ikatan supramolekul (molekul raksasa)  meyebabkan pelarutan selulosa menjadi sangat sulit. Oleh karena itu, pengembangan pelarut murah ramah lingkungan  untuk selulosa adalah penting untuk digunakan terhadap selulosa sebagai komponen material polimer. Umumnya, material selulosa teregenerasi bisa dipreparasi secara langsung dari larutan selulosa melalui pelarutan fisik, pembentukan dan proses regenerasi. Proses ini adalah ramah lingkungan dengan mencegah konsumsi bahan-bahan kimia karena kebanyakan agen (pelarut, koagulan, dan lain-lain) dapat diresirkulasi dan dipakai ulang. Dengan perubahan parameter regenerasi, selulosa teregenerasi beragam dalam bentuk, seperti bubuk, serat, film, hidogel, bulatan dan lain-lain. Terutama, pelarutan dan regenerasi adalah "green", bersih dan proses fisik saat pelarut selulosa "green" digunakan, menyebabkan pengembangan berkelanjutan, kelestarian alam dan perlindungan energi. Maka, selulosa teregenerasi telah menarik perhatian, karena mudah untuk memfabrikasinya, biokompatibel, dapat terbiodegradasi, stabil termal dan kimia, dan lain-lain. Akan tetapi, sulitnya melarutkan selulosa menghalangi kemajuan dan pengembangan selulosa teregenerasi. Oleh karena itu, ada suatu kepentingan untuk mengembangkan kebaruan dan teknik green untuk membuat secara fisik selulosa teregenerasi. Pelarut "green" yang telah berhasil dikembangkan untuk regenerasi selulosa adalah N-methylmorpholine-N-oxide (NMMO), cairan ion (ionic liquids), LiCl/N,N-dimethylacetamide (LiCl/DMAc), larutan berair NaOH, alkali/urea dan larutan berair NaOH/thiourea, tetra buthyl ammonium fluoride/DMSO, larutan kompleks logam, molten inorganic salt hidrat.

Regenerasi selulosa dari larutan selulosa melalui koagulasi dengan anti-pelarut atau non-pelarut adalah langkah penting untuk pembuatan dan industrialisasi material selulosa. Material yang difabrikasi secara langsung dari larutan selulosa melalui regenerasi fisika memperoleh sifat fisik dan kimia yang unggul, terbarukan dan berkelanjutan, menghasilkan dampak yang manakjubkan dan keuntungan terhadap masyarakat. Regenerasi menyediakan langkah sederhana untuk mengubah native cellulose menjadi material yang berguna dalam berbagai bentuk, seperti serat, film/membran, beads/microspheres, hidrogel/aerogel, bioplastik, dan lain-lain. Selanjutnya, perlakuan kimia dan fisika dapat diterapkan untuk mengenerasi banyak material fungsional, blend organik/selulosa, membran berpori, material biokompatibel. Oleh karena itu, teknik regenerasi dan material selulosa teregenerasi telah memainkan peran penting dalam penggunaan selulosa secara keseluruhan.

Biasanya, non-pelarut dipilih sebagai koagulan untuk regenerasi selulosa dari larutannya. Zhang dan rekan-rekannya mengembangkan serangkaian koagulan untuk meregenerasi selulosa dalam NaOH/urea yang meliputi larutan H2SO4, CH3COOH, H2SO4/Na2SO4, Na2SO4, (NH4)2SO4.H2O, C2H5OH dan (CH3)2CO, berturut-turut.

Film dan Membran Selulosa

Film transparan yang difabrikasi dari selulosa melalui metode viscose (cellophane) dan proses cuprammonium (cuprophane) masih berperan penting pada kemasan makanan, kosmetik, kemasan obat-obatan dan pressure sensitive tapes. Akan tetapi, film poliolefin digantikan oleh film selulosa di pasaran, disebabkan proses pembuatannya tidak sulit dan tidak mahal. Dibandingkan film polimer sintestik (PP dan PET), cellophane menghasilkan kekuatan tarik yang lebih besar (20-100 MPa) dan elongasi 14-40%, layaknya film Lyocell (50-300 MPa, 2-40%).

Zhang dan rekan-rekannya telah mengembangkan film selulosa yang baru melalui pelarut rendah shuhu. Larutan selulosa dalam NaOH (atau LiOH)/urea dicast pada pelat kaca untuk memberikan lembaran gel dengan ketebalan 200-300 mikrometer, dan kemudian dicelupkan pada koagulan untuk meregenerasi, diikuti pencucian, plastisasi dan pengeringan. Film yang dihasilkan memiliki struktur homegen, transimatnsi optis sempurna (90% pada 800 nm), kekuatan tarik yang baik (100 MPa) dan secara sempurna dapat terbiodegradasi di alam pada suhu sekitar 30 derajat selama satu bulan, menunjukkan aplikasi yang menjanjikan dalam bidang kemasan.

(adapted from "Recent advances in regenerated cellulose materials" by S. Wang, A. Lung and L. Zhang)


Kamis, 14 Juni 2018

Beyond of Rules : Why not...?


Tulisan ini dilatar-belakangi oleh kesadaran pentingnya memberikan kesempatan seseorang (atau sekelompok) yang berada di luar garis “ideal” atau “aturan” untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Fakta sosial dan sejarah menyatakan bahwa banyak tokoh-tokoh yang mampu mendobrak  dan keluar dari rutinitas dan tuntutan background (apakah itu pendidikan, apakah itu budaya, apakah itu ajaran kepercayaan) yang dimilikinya dalam upaya mengangkatkan harkat dan martabatnya bahkan kelompok pun bangsa.

Sederhananya, saya mengambil contoh, seorang tokoh Susi Pudjiastuti, yang memutuskan berhenti bersekolah pada kelas 2 SMA, tidak dengan alasan ekonomi, tetapi lebih ke alasan panggilannya untuk resign, menganggap dia tidak cocok dengan sistem sekolah (jujur-red). Beliau hadir dengan kemandirian, keluar dari keberadaan orang tua dengan ekonomi yang mapan, mengupayakan sendiri usaha penjual bad cover, pengepul ikan sampai memiliki perusahaan pengolahan ikan, dan merambah ke perusahaan penerbangan perintis. Percaya atau tidaknya, fenomena kehidupan yang dialaminya ini adalah “beyond of rules”. Saya sering mengutip statementnya, bahwa: life is fully surprise, and many ‘coz insident.  Beliau membuktikan dirinya, kesuksesan tidak hanya diraih oleh sekat-sekat lurus, tetapi harus melompat melampaui sekat-sekat tersebut, melalui kerja keras.

Tidak mengherankan, keputusan Presiden Jokowi untuk mengangkatnya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, semata-mata karena dia adalah “beyond of rules”. Bukan sedikit pakar-pakar Kelautan, pakar-pakar Perikanan, praktisi-praktisi bidang yang relate yang secara “rules” dipandang lebih tepat menduduki jabatan tersebut, tetapi Presiden melihat dari sisi potensial sang Peri Laut tersebut. Secara pribadi, saya sangat salut dengan keputusan Presiden tersebut, karena ini merupakan starting untuk memperkenalkan figur-figur yang tidak biasa, yang potensial mendobrak permasalahn bangsa selama ini. Susi Pudjiastuti meresponnya dengan kerja nyata. Tidak lama menjabat Menteri, gebrakannya menuai banyak apresiasi dan tidak jarang juga kritik. Tetapi beliau menjawabnya dengan data dan fakta, bahwa kajiannya yang praktis justeru mampu mengantarkan Indonesia menjadi Jalesveva Jayamahe. November tahun 2016, Susi Pudjiastuti akhirnya diakui oleh Kemenristekdikti dan melalui Promosi Doktor Honoris Causa bidang Kebijakan Kelauatan dan Perikanan oleh Universitas Diponegoro, mengantarkan beliau sebagai figur yang  tanpa dia sadari berdampak pada pengakuan secara Akademik atas pencapaiannya selama ini. Bahkan belakangan ini, Institut Teknologi Sepuluh November, tahun 2017 tidak ketinggalan memberikan gelar Doktor Kehormatan di bidang Manajemen Perikanan pula.

Dari sejarah pula kita dapat belajar tentang tokoh-tokoh besar yang bekerja dan berkarya serta mengabdi di luar apa yang sekedar dimilikinya. Bekerja tanpa kekakuan “kutukan” aksesoris yang dilekatkan dan ditakdirkan kepada mereka. Tidak heran The Founding Fathers Republik Indonesia Dwitunggal Soekarno-Hatta, adalah tokoh yang tidak biasa, merekalah tokoh yang membuktikan dirinya sebagai “beyond of rules”. Bagaimana tidak, Soekarno yang adalah Insinyur dan Hatta yang adalah Ekonom, terpanggil memimpin bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, di tengah-tengah ancaman perpolitikan yang rentan dengan peperangan, sebagai efek Perang Dunia II. Pasangan dwitunggal tersebut keluar dari zona aman mereka untuk tampil, dengan penuh tanggung jawab untuk membuktikan Negara yang baru lahir tersebut telah memiliki tanah air, memiliki rakyat dan itu harus diakui oleh dunia.    

Pengantar ini, tentunya membuka setidaknya wawasan pembaca, tentang apa yang saya maksudkan dengan “beyond of rules”. Mengapa Pemerintah harus kaku, dalam menetapkan figur dan rekan pengeksekusi visi dan misinya? Atau Pemerintah justru tidak banyak melihat, mendengar, merasakan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat melalui aspek-aspek. Birokrasi pemerintah, baiknya belajar dari BUMN, yang lebih soft menerima karyawannya, bukan harus kelinieran dengan bidang pendidikan yang dimilikinya, tetapi lebih pada potensi yang ada dalam diri calon karyawan tersebut (meskipun tidak dapat digeneralisir untuk semua). Tetapi setidaknya, bidang-bidang yang lebih membutuhkan managerial tidak harus diplot oleh kondisi background pendidikannya. Saya ambil contoh, seorang Pejabat Fungsional dengan potensi yang dimilikinya, melampaui apa yang disyaratkan pada tugas pokoknya, memiliki potensi (peluang) untuk masuk ke bidang struktural (sebut saja pemerintahan), tidak harus menunggu bahwa dia haruslah lulusan ilmu pemerintahan, yang secara hemat saya memiliki template yang jelas utk dapat dilaksanakan. Misalnya lagi, seorang dokter (Fungsional khusus) memiliki potensi manajerial yang sangat mumpuni, karena hemat saya, pekerjaaan apapun dia, memiliki irisan manajerial (praktikal). Kompetensi kepribadian merupakan cerminan dari manajemen dirinya, demikian juga kompetensi profesionalnya, adalah hasil dari manajemen keprbadiannya, demikian juga interaksi yang baik dengan kolega dan sebagainya, hal-hal ini saya sebut sebagai potensi yang dia miliki. Belum lagi, dokter yang tahu lapangan kebutuhan, justru lebih berpengalaman akan kebutuhan bidang dan aspek kesehatan itu ada di mana. Melihat fenomena tersebut, tidaklah berkesalahan seandainya sang dokter menjadi Kepala Dinas Kesehatan, kalau memang yang pure birokrat bidang tersebut justru masih meraba-raba akan pemecahan masalah yang ada. Tetapi perlu hati-hati, hal ini merupakan pilihan karena kebutuhan urgent, bukan berarti membabi buta dalam memutuskannya. Demikian juga seorang guru yang sudah malang melintang di dunia pendidikan, memiliki karya yang banyak, berpengalaman sebagai direktur di sekolah dasar/menengah, mumpuni, tidak berkesalahan didaulat mengisi jabatan strategis di instansi induknya Dinas Pendidikan. Hemat saya, problematika dunia pendidikan, lebih terpampang nyata kepada pelakunya (praktisi) dibandingkan staf yang besar dari meja di kantoran saja. Atau bahkan negeri kita sendiri, kita melihat dinamika politik, sosok Ir. Joko Widodo seorang insinyur yang berejahwantah menjadi seorag pebisnis mebel, justru membuktikan dirinya sebagai solusif melalui karir politiknya sebagai Walikota, Gubernur hingga Presiden RI sekarang ini. Dan masih banyak contoh ekstrem lainnya berkenaan dengan hal tersebut di atas.

Alangkah tidak elok, jika kepercayaan diri itu muncul dari sang “beyond of rules”. Harusnya memang dilirik oleh si pemangku kepentingan. Sayangnya, fakta berbicara lain tatanan birokrasi masih kaku, dan dikuasai oleh kepentingan praktis, kepentingan politis, tidak memberikan ruang “beyond of rules” tumbuh dan berkembang.  Yang lahir justeru kepercayaan diri dari sosok (oknum) atau kelompok-kelompok tertentu yang mengedepankan kepentingan praktisnya dan cenderung tidak dibarengi dengan penguasaan pada masalah, berakibat menghadirkan birokrasi yang mandek, tidak ada gebrakan. Tidak jarang kita menemukan, birokrat (misalnya di daerah) hanya sebagai simbol dalam instansinya, sedangkan program yang ditawarkan tidak ada sesuatu yang baru, ataupun kalau mereka adalah bawahan, maka mereka berperan asal bapak senang (ABS), sungguh sangatlah amatir.   

Penulis menawarkan, agar peluang menghadirkan sosok “beyond of rules” dengan kepribadian dan pengalaman mumpuni di berbagai perikehidupan sebagai alternatif dalam mengurai permasalahan bangsa kita yang sangat pelik ini adalah nyata diterapkan. Peran kuncinya adalah pelaku Pemimpinnya. Alih-alih memberdayakan sosok “beyond of rules”, maka Pemimpin juga haruslah sosok yang “beyond of  rules”.  Seorang sosok pemimpin yang “beyond of rules” memiliki naluri dalam menelusuri keberadaan dan kondisi yang menjadi kekuatan dan kelemahan medan kerja yang diembannya. Sinergisitas antara pemimpin dan rekanan yang “beyond of rules” diharapkan mampu menghasilkan suatu tatanan organisasi (sebutlah itu birokrasi) yang baik.

Penulis lebih tepat menyebutkan bahwa pemimpin yang “beyond of rules” adalah “takdir”.  Ada kecenderungan bahwa bukanlah dorongan dirinya yang mengantarkan dia menjadi pemimpin tersebut, tetapi keadaan yang menghadirkan dianya pada saat yang tepat sebagai hasil sesuatu yang sudah “dinubuatkan”. Pendapat saya mungkin saja kontroversi, tetapi ini berdasarkan permenungan tentang pemimpin-pemimpin di dunia. Berapa banyak upaya dalam melengserkan pemimpin, agar dia duduk sebagai pemimpin. Kudeta yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok yang haus kekuasaan, juga akan berakhir pada lengsernya mereka akibat kedikatatoran yang mereka lahirkan. Pemimpin sejati sesungguhnya adalah terlahir, dan kehadirannya adalah unik bahkan banyak yang di luar dugaan logika, akan tetapi dirindu dan diterima pada akhirnya. Dipercaya atau tidak, pemimpin sejati tidaklah haus kekuasaan, tetapi memilih untuk peka meskipun dalam dia untuk menyelesaikan permasalahan kemashalatan. Kisah Mahatma Gandhi dan Bunda Teresa adalah contoh dari sosok yang saya maksudkan.

Akhirnya, sosok “beyond of rules” adalah sesuatu yang unik dan menarik, bahkan tak terduga. Kerangka berpikir tentang kehadiran dan kemunculannya sebagai “takdir” haruslah dipahami dalam wujud sosok tanpa pamrih, yang menanggalkan kepentingan sendiri dan mengutamakan kepentingan orang lain (orang banyak). Pola yang tampak klasik, tetapi sesungguhnya ini yang memang kita butuhkan.

(by Sun Theo C.L. Ndruru)

Kamis, 11 Januari 2018

Latar Belakang Pemilihan Bahan Penelitian

Berikut ini beberapa alasan yang menjadi latar belakang pemilihan bahan untuk penelitian disertasi saya, antara lain sebagai berikut:

Alasan pemilihan kulit buah kakao
  1. Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Ghana dan Pantai Gading.
  2. Pemanfaatan kakao terbatas pada daging buah dan bijinya saja.
  3. Limbah kulit buah kakao (pod husk kakao) belum termanfaatkan dengan maksimal.
  4. Kakao, daerah asal peneliti, merupakan komoditi unggulan setelah karet dan kopra.

Alasan pemilihan selulosa dari bahan alam.
  1. Melimpah di alam.
  2. Mudah dan murah jika diisolasi dari bahan alam.
  3. Biokompatibel.
  4. Bio-renewable.
  5. Ramah lingkungan, dapat terdegradasi di alam (biodegradasi).
  6. Dapat dimodifikasi dengan mudah, karena berat molekul yang rendah dibandingkan selulosa komersial.
  7. Termoplastik.
  8. Memiliki ketahanan panas yang baik.
  9. Memiliki ketahanan mekanik yang baik.

Alasan pemilihan turunan selulosa: metil selulosa.

  1. Karakteristik yang mudah dan dapat dibuat dalam bentuk film tipis, sehingga berpeluang sebagai polimer host untuk matriks membran elektrolit.
  2. Telah banyak dilaporkan metode sintesis yang murah dan mudah, menggunakan metil iodida (CH3I) dan DMS (dimetil sulfat).
  3. Metil selulosa bersifat termoplastik, dapat larut dalam air (DS ~ 1,4 s.d 2,0) dan pelarut organik lainnya (DS ~ 2,0 ke atas).

Alasan Cairan Ion sebagai agen pengisolasi selulosa dari bahan alam dan media pelarut dlam mensintesis metil selulosa (KEBAHARUAN).
  1. Lebih ramah lingkungan.
  2. Dapat diperoleh dan digunakan ulang (reuseable).
  3. Sintesis cairan ion mudah dan murah.
  4. Peluang dekonstruksi lignoselulosa oleh cairan ion dipengaruhi oleh kation dan anion yang dapat mengganggu ikatan antara lignin dan selulosa.
  5. Berhubungan dengan metode baru yang mengembangkan mekanisme sintesis metil selulosa, belum banyak dilaporkan penggunaan cairan ion turunan imidazolium, sementara peluang cairan ion sangat besar, karena beberapa laporan menyebutkan bahwa selulosa dapat larut dalam pelarut cairan ion, semisal BMImCl, AMImCl dan EMIMAc.


KEBAHARUAN DALAM PENELITIAN DISERTASI
  1. Penggunaan cairan ion dengan metode MAOS dalam isolasi (ekstraksi) selulosa dari bahan alam (kulit buah kakao, KBK, pod husk kakao (Theobroma cacao L.)
  2. Penggunaan cairan ion dengan metode MAOS dalam sintesis turunan selulosa (eter selulosa, Metil Selulosa).
  3. Penggunaan cairan ion sebagai plasticizer dalam membran elektrolit polimer berbahan dasar metil selulosa.
  4.  Metil selulosa (methylcellulose, MC)sendiri tidak pernah dilaporkan menjadi host polimer tunggal dalam membran elektrolit polimer, akan tetapi berdasarkan literatur MC hanya berperan sebagai agen blend untuk host polimer utama pada membran elektrolit polimer.
  5. Metil selulosa yang terplastisasi cairan ion merupakan agenda utama berkaitan kebaharuan penelitian disertasi ini.


Secara konvensional, isolasi selulosa terdiri dari dua tahap penting, yaitu perlakuan alkali (NaOH/KOH) dan proses bleaching (agen bleaching: NaClO/NaOCl2). Perlakuan  alkali bertujuan melepaskan ikatan antara lignin dan holoselulosa, sehingga diperoleh lignin, hemiselulosa dan selulosa. Proses alkali menggunakan basa kuat seperti NaOH dan KOH membutuhkan penetralan pH terhadap produk yang terlah diekstrak tersebut. Proses penyaringan selanjutnya diikuti oleh proses pencucian dengan air terdistilasi berlebihan, kemudian menggunakan asam asetat dalam menetralkan produk ekstraksi. Selanjutnya dibilas dengan etanol. Produk ini biasanya disebut dengan holoselulosa. Holoselulosa sendiri terdiri dari hemiselulosa dan selulosa.
Proses bleaching selanjutnya dilakukan agar hemiselulosa dapat terikat dan terpisah dengan selulosa yang dikehendaki, selain menyebabkan produk menjadi lebih cerah (putih). Agen bleaching yang digunakan biasanya NaOCl2 6% yang biasanya ditambahkan lagi dengan NaOH untuk meyakinkan pemutusan lignin terjadi secara sempurna. Biasanya produk hasil bleachig tersebut diasamkan kembali menggunakan asam asetat agar keadaan produk kembali netral.
Proses isolasi selulosa memakan durasi 4-6 jam untuk perlakuan alkali sedangkan proses bleaching hingga produk sebelum dikeringkan memakan waktu 1-2 jam.

Metode baru yang dikembangkan dalam penelitian ini terutama terletak pada penggunaan cairan ion untuk menggantikan perlakuan alkali, sehingga basa alkali yang tidak ramah lingkungan dapat ditekan penggunaannya. Selain itu, penggunaan dari pemanasan gelombang mikro yang bersesuaian dengan karakter dipole cairan ion dapat mengefisienkan waktu, sehingga proses ekstraksi selulosa dapat dilakukan dengan rentang di bawah 1 jam (dalam penelitian ini interval 10-60 menit). Selain itu, cairan ion dapat diperoleh ulang (recovery). Proses penetralan pH-pun tidak perlu dilakukan, sehingga menghemat waktu dalam melaksanakan proses delignifikasi kulit buah lignoselulosa dari kulit buah kakao.

Untuk mengetahui apakah selulosa telah berhasil diisolasi dari bahan alam, maka dilakukan analisis FTIR untuk megetahui gugus-gugus penting yang berhasil terekspos dari selulosa hasil isolasi tersebut.
 


POTENSI ALIH FUNGSI TUAK SULING NIAS

 Introduksi Di sekitar tahun 2018 terdapat informasi tentang pelarangan penjualan tuak Nias. Hal ini mengakibatkan masyarakat Nias yang suda...