Tulisan ini dilatarbelakangi pengamatan kami lakukan
terhadap pelaksanaan pembelajaran berbasis jaringan di tengah-tengah pandemic
corona tahun 2020, khususnya di Indonesia. Pembelajaran tatap muka di kelas
dari tingkatan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi digantikan (tentunya secara
mendadak) oleh pembelajaran dalam jaringan (daring/online). Perubahan wajah
pendidikan khususnya dalam implementasi pembelajaran daring tersebut terkesan
mendorong kesiapan sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan untuk
membenahi dirinya dalam memfasilitasi penerapan pembelajaran daring. Akan
tetapi, secara sistem penyuaraan penggunaan teknologi digital bukan hal yang baru,
bahkan tergolong cukup lama seiring perkembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) di dunia. Pengintegrasian teknologi digital tersebut
sebenarnya sudah “ramai” dilakukan baik melalui pemanfaatan website, video
animasi dalam pembelajaran hingga pelaksanaan tes dalam jaringan seperti UNBK
maupun UTBK. Hanya saja di Indonesia, sistemnya masih dalam tahap
membudayakannya belum dalam kondisi kewajiban yang nyata, dikarenakan satu dan
lain hal.
Kembali pada implementasinya di lapangan (sekolah,
perguruan tinggi) apakah menjadi suatu yang utama untuk menggantikan
pembelajaran tatap muka (face to face),
mari kita lihat. Dalam pandemic COVID-19 peserta didik menghabiskan waktunya
untuk menekuni pembelajaran yang dibagikan oleh Tenaga Pengajar melalui penggunaan
ponsel pintar (smartphones), email, media
obrolan (chatting) hari lepas hari. Munculnya kebosanan mulai dirasakan baik
peserta didik hingga tenaga pengajar, disebabkan bahan ajar yang disampaikan
monoton, tugas-tugas yang diberikan terkendala konten yang harus melibatkan
pemahaman yang tinggi seperti pada mata pelajaran –mata pelajaran eksakta.
Untuk mata pelajaran – mata pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika dan Kimia yang tidak bisa
mengandalkan one step case, tetapi harus berulang-ulang dalam membelajarkannya,
dalam artian tidak cukup memberikan bahan (materi) tetapi pembiasaan pemecahan
masalah yang berulang dari level rendah ke yang rumit. Alhasil kualitas menjadi
pertaruhannya. Menurut hemat kami, untuk kasus pembelajaran Eksakta maka tatap
muka masih yang lebih utama.
Belum lagi tentang kematangan, keterbatasan waktu dan
intervensi lingkungan (misalnya keluarga) dalam pembelajaran di rumah tidak
mampu mengontrol kejujuran dalam belajar. Ketidakterjangkauan aspek Afektif
menghasilkan cara belajar yang “asal”, belum lagi pemberian tugas dan bahan
ajar yang tidak standar (pastinya) dikarenakan keterbatasan di sana sini,
terkesan sangat disederhanakan, tentunya beda dengan istilah sederhana.
Lagi-lagi titik lemahnya di sini. Mutakhirnya pembelajaran web menurut hemat
saya, hanya memposisikan dirinya sebagai supporting
atau tools bukan yang utama (main).
Belum lagi kalau kita menuntut aspek keterampilan (psikomotor) yang menjadi
tipikal Kurikulum 2013 yang komprehensif tersebut, sangat sulit untuk
dikontrol.
Pembelajaran online, baik melalui web, video conference, video animasi yang
sudah ada, memang sangat membantu peserta didik untuk mengaksesnya, meskipun
dibayar mahal dengan pemakaian data paket, alih-alih peran guru terkesan mengerucut
dalam share via chatting whatsapp belaka. Meskipun bukan yang utama, perlu dicatat,
seharusnya Guru menjadikan kondisi (momen) ini menaikkan tingkat kreativitasnya. Saya
mengamati beberapa Dosen dan Tentor-tentor Bimbingan Belajar selangkah lebih maju
dalam memilih cara pembelajaran daringnya. Mereka memindahkan bahan ajar mereka
melalui video yang direkam dan dibagikan ke youtube ataupun website dengan
menarik. Pengajar langsung yang menyediakan bahan ajarnya, tutorial pembahasan
soal-soalnya dan menyediakan tugas-tugas kepada siswa. Tampaknya teknik yang
terakhir ini yang cukup mengontrol jangkauan kurikulum khususnya aspek pengetahuannya.
Bagaimana dengan Kurikulum? Semakin komprehensif
konten suatu kurikulum, maka dipastikan bahwa pelaksanaannya semakin rumit
pula. Dalam kasus Kurikulum 2013 kerumitan ini terletak pada pengambilan
keputusan evaluasi belajar yang menuntut tagihan-tagihan dalam belajar dengan
sangat komprehensif dan terkuantitatifkan untuk semua domain belajar kognitif,
afektif dan psikomotor. Sementara kontrol di lapangan penerapannya sangatlah
lemah, dan jarang terungkap. Hemat kami, kurikulum sebaiknya didesain sederhana.
Program merdeka belajar yang dikampanyekan oleh Mendikbud Nadiem Makarim tampaknya menjawab desain kurikulum yang sederhana
dapat terwujud. Beliau menekankan perwujudan budaya belajar di sekolah, yang
poin utamanya adalah keberhasilan bersama, tidak pada individu-individu yang
terpisah dari sistem. Sistem harus mengintervensi individu-individu di
dalamnya. Situasi pandemic sekarang ini tampaknya semakin memperkuat penerapan
merdeka belajar tersebut, dengan menyandingkan tools yaitu pembelajaran daring pada metode pembelajaran existing (yang berlangsung) selama
ini. Metode
saintifik yang terdiri dari tahapan mengamati, bertanya, mengumpulkan
informasi, menalar, dan mengkomunikasikan pada akhirnya tidak perlu
dipilah-pilah, dalam artian guru mengarahkan pemahaman tentang pemberlakuan
metode tersebut dalam pembelajaran. Bagaimana metode saintifik ini dapat
diterapkan melalui pembelajaran daring? Untuk saat ini dapat dipastikan masih
sangat sulit untuk dilakukan.
Terdapat beberapa hal yang dapat kita petik dari
pemberlakuan pembelajaran daring secara mendadak ini dalam suasana pandemic
COVID-19 dan pasca pandemic. Pertama, sekolah tidak lagi “enggan”
mengalokasikan dana BOS atau sumber pendanaan lainnya dalam mewujudkan
pembelajaran daring di institusinya masing-masing, termasuk memfasilitasi
peningkatan keterampilan personil sekolah dalam menanganinya. Kedua,
tenaga pengajar harus memberanikan diri menggunakan, memodifikasi teknologi
hingga menjadi pencipta (creator)
media-media belajar elektronik seperti video, website belajar bukan hanya
sekadar sharing konten yang sudah ada. Dalam hal ini, tenaga pengajar tentunya
dibekali kurikulum dengan segala kebutuhannya. Ketiga, setelah pandemic maka akan
terjadi perubahan besar-besaran dalam teknik pembelajaran yang selama ini
mengandalkan metode tatap muka konvensional, yang juga tidak berarti meninggalkan
metode tersebut, tetapi dalam artian mengintegrasikan digitalisasi dalam metode
konvensional tersebut yang popular disebut sebagai Multimetode dalam
pembelajaran. Keempat,
terbentuk pergeseran budaya belajar khususnya ketergantungan sumber belajar
dari sekolah menjadi kemandirian belajar. Peserta didik kini memiliki banyak
referensi dalam mencapai kompetensinya, sementara Pengajar memperkuat dirinya
sebagai fasilitator (yang handal).
Penulis:
1. Dr. Sun Theo C.L. Ndruru, M.Si (Pengamat Pendidikan, Alumni SPs ITB)
1. Dr. Sun Theo C.L. Ndruru, M.Si (Pengamat Pendidikan, Alumni SPs ITB)
2. Si'ari Gulo, M.Pd (Praktisi Pendidikan, Alumni PPs Universitas Negeri Surabaya)