Senin, 25 Mei 2020

Penting, tetapi bukan yang utama: Pengamatan tentang implementasi pembelajaran daring/online


Tulisan ini dilatarbelakangi pengamatan kami lakukan terhadap pelaksanaan pembelajaran berbasis jaringan di tengah-tengah pandemic corona tahun 2020, khususnya di Indonesia. Pembelajaran tatap muka di kelas dari tingkatan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi digantikan (tentunya secara mendadak) oleh pembelajaran dalam jaringan (daring/online). Perubahan wajah pendidikan khususnya dalam implementasi pembelajaran daring tersebut terkesan mendorong kesiapan sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan untuk membenahi dirinya dalam memfasilitasi penerapan pembelajaran daring. Akan tetapi, secara sistem penyuaraan penggunaan teknologi digital bukan hal yang baru, bahkan tergolong cukup lama seiring perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di dunia. Pengintegrasian teknologi digital tersebut sebenarnya sudah “ramai” dilakukan baik melalui pemanfaatan website, video animasi dalam pembelajaran hingga pelaksanaan tes dalam jaringan seperti UNBK maupun UTBK. Hanya saja di Indonesia, sistemnya masih dalam tahap membudayakannya belum dalam kondisi kewajiban yang nyata, dikarenakan satu dan lain hal.



Kembali pada implementasinya di lapangan (sekolah, perguruan tinggi) apakah menjadi suatu yang utama untuk menggantikan pembelajaran tatap muka (face to face), mari kita lihat. Dalam pandemic COVID-19 peserta didik menghabiskan waktunya untuk menekuni pembelajaran yang dibagikan oleh Tenaga Pengajar melalui penggunaan ponsel pintar (smartphones), email, media obrolan (chatting) hari lepas hari. Munculnya kebosanan mulai dirasakan baik peserta didik hingga tenaga pengajar, disebabkan bahan ajar yang disampaikan monoton, tugas-tugas yang diberikan terkendala konten yang harus melibatkan pemahaman yang tinggi seperti pada mata pelajaran –mata pelajaran eksakta. Untuk mata pelajaran – mata pelajaran eksakta seperti  Matematika, Fisika dan Kimia yang tidak bisa mengandalkan  one step case, tetapi harus berulang-ulang dalam membelajarkannya, dalam artian tidak cukup memberikan bahan (materi) tetapi pembiasaan pemecahan masalah yang berulang dari level rendah ke yang rumit. Alhasil kualitas menjadi pertaruhannya. Menurut hemat kami, untuk kasus pembelajaran Eksakta maka tatap muka masih yang lebih utama.

Belum lagi tentang kematangan, keterbatasan waktu dan intervensi lingkungan (misalnya keluarga) dalam pembelajaran di rumah tidak mampu mengontrol kejujuran dalam belajar. Ketidakterjangkauan aspek Afektif menghasilkan cara belajar yang “asal”, belum lagi pemberian tugas dan bahan ajar yang tidak standar (pastinya) dikarenakan keterbatasan di sana sini, terkesan sangat disederhanakan, tentunya beda dengan istilah sederhana. Lagi-lagi titik lemahnya di sini. Mutakhirnya pembelajaran web menurut hemat saya, hanya memposisikan dirinya sebagai supporting atau tools bukan yang utama (main). Belum lagi kalau kita menuntut aspek keterampilan (psikomotor) yang menjadi tipikal Kurikulum 2013 yang komprehensif tersebut, sangat sulit untuk dikontrol.

Pembelajaran online, baik melalui web, video conference, video animasi yang sudah ada, memang sangat membantu peserta didik untuk mengaksesnya, meskipun dibayar mahal dengan pemakaian data paket, alih-alih peran guru terkesan mengerucut dalam share via chatting whatsapp belaka. Meskipun bukan yang utama, perlu dicatat, seharusnya Guru menjadikan kondisi (momen) ini  menaikkan tingkat kreativitasnya. Saya mengamati beberapa Dosen dan Tentor-tentor Bimbingan Belajar selangkah lebih maju dalam memilih cara pembelajaran daringnya. Mereka memindahkan bahan ajar mereka melalui video yang direkam dan dibagikan ke youtube ataupun website dengan menarik. Pengajar langsung yang menyediakan bahan ajarnya, tutorial pembahasan soal-soalnya dan menyediakan tugas-tugas kepada siswa. Tampaknya teknik yang terakhir ini yang cukup mengontrol jangkauan kurikulum khususnya aspek pengetahuannya.

Bagaimana dengan Kurikulum? Semakin komprehensif konten suatu kurikulum, maka dipastikan bahwa pelaksanaannya semakin rumit pula. Dalam kasus Kurikulum 2013 kerumitan ini terletak pada pengambilan keputusan evaluasi belajar yang menuntut tagihan-tagihan dalam belajar dengan sangat komprehensif dan terkuantitatifkan untuk semua domain belajar kognitif, afektif dan psikomotor. Sementara kontrol di lapangan penerapannya sangatlah lemah, dan jarang terungkap. Hemat kami, kurikulum sebaiknya didesain sederhana. Program merdeka belajar yang dikampanyekan oleh Mendikbud Nadiem Makarim tampaknya menjawab desain kurikulum yang sederhana dapat terwujud. Beliau menekankan perwujudan budaya belajar di sekolah, yang poin utamanya adalah keberhasilan bersama, tidak pada individu-individu yang terpisah dari sistem. Sistem harus mengintervensi individu-individu di dalamnya. Situasi pandemic sekarang ini tampaknya semakin memperkuat penerapan merdeka belajar tersebut, dengan menyandingkan tools yaitu pembelajaran daring pada metode pembelajaran existing (yang berlangsung) selama ini.  Metode saintifik yang terdiri dari tahapan mengamati, bertanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengkomunikasikan pada akhirnya tidak perlu dipilah-pilah, dalam artian guru mengarahkan pemahaman tentang pemberlakuan metode tersebut dalam pembelajaran. Bagaimana metode saintifik ini dapat diterapkan melalui pembelajaran daring? Untuk saat ini dapat dipastikan masih sangat sulit untuk dilakukan.

Terdapat beberapa hal yang dapat kita petik dari pemberlakuan pembelajaran daring secara mendadak ini dalam suasana pandemic COVID-19 dan pasca pandemic. Pertama, sekolah tidak lagi “enggan” mengalokasikan dana BOS atau sumber pendanaan lainnya dalam mewujudkan pembelajaran daring di institusinya masing-masing, termasuk memfasilitasi peningkatan keterampilan personil sekolah dalam menanganinya. Kedua, tenaga pengajar harus memberanikan diri menggunakan, memodifikasi teknologi hingga menjadi pencipta (creator) media-media belajar elektronik seperti video, website belajar bukan hanya sekadar sharing konten yang sudah ada. Dalam hal ini, tenaga pengajar tentunya dibekali kurikulum dengan segala kebutuhannya. Ketiga, setelah pandemic maka akan terjadi perubahan besar-besaran dalam teknik pembelajaran yang selama ini mengandalkan metode tatap muka konvensional, yang juga tidak berarti meninggalkan metode tersebut, tetapi dalam artian mengintegrasikan digitalisasi dalam metode konvensional tersebut yang popular disebut sebagai Multimetode dalam pembelajaran. Keempat, terbentuk pergeseran budaya belajar khususnya ketergantungan sumber belajar dari sekolah menjadi kemandirian belajar. Peserta didik kini memiliki banyak referensi dalam mencapai kompetensinya, sementara Pengajar memperkuat dirinya sebagai fasilitator (yang handal).

Penulis:
1. Dr. Sun Theo C.L. Ndruru, M.Si (Pengamat Pendidikan, Alumni SPs ITB)
2. Si'ari Gulo, M.Pd (Praktisi Pendidikan, Alumni PPs Universitas Negeri Surabaya)



POTENSI ALIH FUNGSI TUAK SULING NIAS

 Introduksi Di sekitar tahun 2018 terdapat informasi tentang pelarangan penjualan tuak Nias. Hal ini mengakibatkan masyarakat Nias yang suda...