Oleh : Sun
Theo Constan Lotebulo Ndruru
Beberapa hari
ini, saya kembali refleksi terhadap perjalanan dan pengalaman yang saya rasakan
tentang daerahku. Terima kasih buat seorang teman wisatawan domestik dari Medan
yang kembali mengingatkanku pada suatu masalah yang berhulu dan berakar pada
ketidakberdayaan menembus batas-batas itu.
Bermula kehadiran beliau dengan sejuta harapan ingin mengarungi pulauku, berkeliling menikmati pagi siang dan sore lekuk pulauku. Kehadiran beliau saya sambut dengan penuh heran, sekaligus claim: here is the truly tourist. Hadir dengan kesendirian dan kemandirian. Beliau menceritakan dengan berbantuan informasi dari peta yang ia peroleh dari jaringan, bercerita tentang spot-spot wisata yang beliau akan kunjungi, yang saya sendiri kurang paham karena kurang memiliki referensi dan tidak juga berniat untuk memiliki hasrat menjadi seorang adventurer seperti beliau.
Dengan keyakinan yang penuh, beliau dengan kepastian mampu menembus batas-batas itu. Saya sebagai awam tentang touring tidak serta merta menyuruntukan semangat beliau. Saya malah membantu beliau memperkuat keinginannya bahwa everything gonna be okay. Meskipun dengan pengalaman yang saya bagikan, saya membukakan bahwa pulauku, pulau impian barulah wacana dan cita-cita yang saat ini belum bisa terwujud. Kesiapan akan akses, sarana pendukung serta rasa aman yang ditawarkanpun masih diragukan oleh notabene navite people sendiri. Tetapi keyakinan beliau justru tidak surut, entah karena belum tahu real yang sebenarnya, malah justru beliau yakin bisa menaklukkan lekuk pulauku.
Di hari pertama saya berbagi cerita ke dia dengan mengundang ibu dan saudara tertua serta teman-teman saya. Alhasil hari pertama, seorang sahabat siap menjadi guide-nya, karena jujur kecemasan tentang rasa aman merajai dan berada pada nomor antrian terdepan di benakku. Kehadiran sahabat tersebut meyakinkanku 100% dia aman dan enjoyable menikmati apa yang menjadi impian beliau melewati lekuk utara pulauku. Alhasil, dia menemukan spot yang diakui beliau luarbiasa dan recommended untuk dinikmati, meskipun spot itu belum terekam pada database sistem informasinya. Beliau begitu senang membagikan foto yang berhasil ia dokumentasikan selama perjalanan seharinya.
Hari kedua, dengan keyakinan penuh akan menemukan rental motorpun menjadi trending pada saat itu. Jauh hari saya sampaikan bahwa saya memiliki batas memfasilitasi beliau, tetapi setidaknya saya berusaha untuk mencari alternatif. Dengan berbantuan siswa saya, mereka mencari di sekitar kota motor yang dapat direntalkan, dan gagal. Saya sempat berbagi cerita dengan siswa-siswa saya saat itu, bahwa pulauku belum siap menjadi pulau impian. Tempat wisata yang tidak permanen, akses jalan yang sulit ditembus, dan terutama adalah rasa aman yang ditawarkan menjadi faktor terbesar dalam berwisata. Saya sempat menyalahkan promosi yang berlebihan tentang pulauku pulau impian, yang berdampak pada ketidakberdayaan kita menghadang permintaan ketika kasus seperti ini hadir di daerahku yakni kasus the truly tourist (sang adventurer).
Tidak perlu panjang lebar, kegagalan memperoleh motor rentalpun berakhir, dengan kebaikan seorang sahabat meminjamkan motor kepada beliau. Finally, beliau pergi dengan semangat. Salut untuk beliau...
Hari ketiga, di sinilah point saya untuk berefleksi. Saya bersama beliau dan beberapa teman guru, rekan sekerja saya, melayat ke rumah duka atas meninggalnya orangtua dari Bos saya di sekolah. Perjalanan yang sungguh berkesan, kami dihadapkan dengan medan yang hanya bisa dipertaruhkan melalui jalan kaki. Di sini saya kembali teringat dengan tuntutan-tuntutan negeriku. Janji-janji Pemerintah kepada warga negeranya. Sungguh ironi sekali, sejak republik berdiri, sedikitpun tak terjamah pembangunan jalan.
Ketika saya dan beliau sampai kembali ke kota, di sinilah saya buka cakrawalanya tentang lini terpenting dalam kemajuan bangsa, yaitu Pendidikan. Dimulai dari pengharapan masyarakat yang tdk pernah terwujud, ketersediaan infrastruktur, kesejahteraan guru, keberadaan SDM, mindset masyarakat, kebijakan Pemerintah yang bermuara pada kualitas pendidikan. Setidaknya saya kupas beberapa tokoh asal pulauku, tokoh pemuda yang ingin berbagi tanpa pamrih, pengalamanku ditawari ngajar privat, pengalaman ngajar di Sekolah Tinggi, gaji guru di pedalaman yang jauh dari kemanusiaan, UN bohongan, yang kesemuanya itu membuat dia geleng2 kepala.
Dan sayapun memulainya...
Bermula kehadiran beliau dengan sejuta harapan ingin mengarungi pulauku, berkeliling menikmati pagi siang dan sore lekuk pulauku. Kehadiran beliau saya sambut dengan penuh heran, sekaligus claim: here is the truly tourist. Hadir dengan kesendirian dan kemandirian. Beliau menceritakan dengan berbantuan informasi dari peta yang ia peroleh dari jaringan, bercerita tentang spot-spot wisata yang beliau akan kunjungi, yang saya sendiri kurang paham karena kurang memiliki referensi dan tidak juga berniat untuk memiliki hasrat menjadi seorang adventurer seperti beliau.
Dengan keyakinan yang penuh, beliau dengan kepastian mampu menembus batas-batas itu. Saya sebagai awam tentang touring tidak serta merta menyuruntukan semangat beliau. Saya malah membantu beliau memperkuat keinginannya bahwa everything gonna be okay. Meskipun dengan pengalaman yang saya bagikan, saya membukakan bahwa pulauku, pulau impian barulah wacana dan cita-cita yang saat ini belum bisa terwujud. Kesiapan akan akses, sarana pendukung serta rasa aman yang ditawarkanpun masih diragukan oleh notabene navite people sendiri. Tetapi keyakinan beliau justru tidak surut, entah karena belum tahu real yang sebenarnya, malah justru beliau yakin bisa menaklukkan lekuk pulauku.
Di hari pertama saya berbagi cerita ke dia dengan mengundang ibu dan saudara tertua serta teman-teman saya. Alhasil hari pertama, seorang sahabat siap menjadi guide-nya, karena jujur kecemasan tentang rasa aman merajai dan berada pada nomor antrian terdepan di benakku. Kehadiran sahabat tersebut meyakinkanku 100% dia aman dan enjoyable menikmati apa yang menjadi impian beliau melewati lekuk utara pulauku. Alhasil, dia menemukan spot yang diakui beliau luarbiasa dan recommended untuk dinikmati, meskipun spot itu belum terekam pada database sistem informasinya. Beliau begitu senang membagikan foto yang berhasil ia dokumentasikan selama perjalanan seharinya.
Hari kedua, dengan keyakinan penuh akan menemukan rental motorpun menjadi trending pada saat itu. Jauh hari saya sampaikan bahwa saya memiliki batas memfasilitasi beliau, tetapi setidaknya saya berusaha untuk mencari alternatif. Dengan berbantuan siswa saya, mereka mencari di sekitar kota motor yang dapat direntalkan, dan gagal. Saya sempat berbagi cerita dengan siswa-siswa saya saat itu, bahwa pulauku belum siap menjadi pulau impian. Tempat wisata yang tidak permanen, akses jalan yang sulit ditembus, dan terutama adalah rasa aman yang ditawarkan menjadi faktor terbesar dalam berwisata. Saya sempat menyalahkan promosi yang berlebihan tentang pulauku pulau impian, yang berdampak pada ketidakberdayaan kita menghadang permintaan ketika kasus seperti ini hadir di daerahku yakni kasus the truly tourist (sang adventurer).
Tidak perlu panjang lebar, kegagalan memperoleh motor rentalpun berakhir, dengan kebaikan seorang sahabat meminjamkan motor kepada beliau. Finally, beliau pergi dengan semangat. Salut untuk beliau...
Hari ketiga, di sinilah point saya untuk berefleksi. Saya bersama beliau dan beberapa teman guru, rekan sekerja saya, melayat ke rumah duka atas meninggalnya orangtua dari Bos saya di sekolah. Perjalanan yang sungguh berkesan, kami dihadapkan dengan medan yang hanya bisa dipertaruhkan melalui jalan kaki. Di sini saya kembali teringat dengan tuntutan-tuntutan negeriku. Janji-janji Pemerintah kepada warga negeranya. Sungguh ironi sekali, sejak republik berdiri, sedikitpun tak terjamah pembangunan jalan.
Ketika saya dan beliau sampai kembali ke kota, di sinilah saya buka cakrawalanya tentang lini terpenting dalam kemajuan bangsa, yaitu Pendidikan. Dimulai dari pengharapan masyarakat yang tdk pernah terwujud, ketersediaan infrastruktur, kesejahteraan guru, keberadaan SDM, mindset masyarakat, kebijakan Pemerintah yang bermuara pada kualitas pendidikan. Setidaknya saya kupas beberapa tokoh asal pulauku, tokoh pemuda yang ingin berbagi tanpa pamrih, pengalamanku ditawari ngajar privat, pengalaman ngajar di Sekolah Tinggi, gaji guru di pedalaman yang jauh dari kemanusiaan, UN bohongan, yang kesemuanya itu membuat dia geleng2 kepala.
Dan sayapun memulainya...
Pemerintahan
Indonesia sudah berjalam hingga kini menuju usia 71 tahun (pada waktu itu),
tetapi dinamika perpolitikan yang justru merajai seluruh aspek kehidupan di
Indonesia, menumbuhkembangkan kaum elit yang bermotif memperjuangkan kehidupan
bangsa. Teringatnya, seandainya kemerdekaan kita adalah hadiah dari negara
lain, mungkin ceritanya berbeda ya. Bisa lebih buruk, atau bahkan lebih maju.
Seperti Amerika yang merupakan ex-koloni
Inggris, seperti Australia yang masih berada pada wilayah pemerintahan Inggris,
Kanada negara dengan wilayah terluas di duniapun bisa tegak meskipun dikomandoi
Kerajaan Inggris. Atau seandainya negara kita berbentuk monarki (kerajaan)
mungkin saja lebih damai dan mudah dikontrol? Dan saya pun tidak yakin
demikian. Kita berbeda, Indonesia beda.
Saya lebih yakin bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara ditentukan oleh andil masyarakatnya sendiri yang dalam istilah saya yakni masayrakat yang teredukasi. That's the point, educated society. Bagaimana gambaran masyarakat yang teredukasi itu?
Masyarakat yang teredukasi tidaklah muncul serta merta dengan lahirnya suatu negara. Tetapi mudah tidaknya membentuk masyarakat yang teredukasi adalah peran dari negara itu sendiri. Negera memiliki konstitusi, negara memiliki power, negara memiliki seluruh apapun di wilayah ini seharusnya mampu menyelesaikannya.
Saya tidak perlu menceritakan daerah terpencil lainnya di wilayah Indonesia, tetapi yang saya jadikan cerminan adalah daerahku, dengan 4 kabupaten dan 1 kota. Pulau yang memiliki sejuta potensi, pulau yang dengan alamiah bertahan hidup dengan kreativitasnya sejak dahulu dan kreativitas tersebut juga dimiliki oleh daerah-daerah lain di penjuru Nusantara. Pertanyaannya mengapa masyarakat masih saja mengeluh, bukankah mereka mampu bertahan hidup? Ini yang menjadi persoalannya. Konsep bertahan hidup yang dimaksud hanya berhenti pada jari jemari tersebut, kalau istilahnya hanya berupa pengetahuan yang dibawa turun temurun, tidak melalui konsep untuk pengembangan sehingga mampu menyebar luas dan dirasakan oleh masyarakat yang luas tersebut. Konsep bertahan hidup ini merupakan proses spontan yang tetap saja terbatas, sehingga masyarakat hidup seadanya ketika berakhir pada usia senja.
Pertanyaan mungkin muncul, sudahkah masyarakat maksimal berbuat? Hemat saya sudah (meskipun terbatas). Saya selalu geleng-geleng kepala ketika kelompok elit pesimis bahwa akar permasalahan adalah masyarakat itu sendiri. Sungguh pernyataan yang tidak beralasan. Elit punya kuasa, elit diberi mandat, elit punya fungsi, seharusnya berdayakanlah masyarakat tersebut. Kenyataannya ternyata elit juga hanya duduk diam dan menyalahkan keadaan. Elit seharusnya menjadi fasilitator karena memiliki potensi besar menembus batas. Batas komunikasi yang kini bisa ditembus menjadi modal paling besar untuk memberdayakan dan mengedukasi masyarakat. Tetapi permasalahan justru berada pada elit tersebut. Benarkah mereka bekerja benarkah mereka membawa dan mengangkat amanat rakyat, kalau mereka-mereka sendiri hanya bertopeng.
Teringatnya ketika wacana otonomi daerah mengemukaka dekade terakhir, rasa dan keinginan untuk maju menjadi slogan di barisan pertama. Tiap-tiap daerah percaya diri akan keberadaan dan kesiapannya. Muncullah elit-elit yang justru paling kuat meneriakkan pembangunan. Kita punya ini, punya itu, kita bisa, kita mampu, percayalah ungkapan-ungkapan itu yang kerap sekali hadir setiap awal-awal suatu gerakan. Sudahkah kita bergerak? Justru kaum elit kini kebingungan, kaum elit kini saling menyalahkan. Mereka lupa bahwa mereka adalah pemegang mandat perjuangan itu. Entah mengapa, mobilisasi masyarakat yang saya rasakan justuru makin tak menentu. Masyarakat hanya dijadikan objek, bukan subjek pembangunan. Masyarakat yang menjadi subjek pembangunan inilah yang saya istilahkan dengan masyarakat yang teredukasi.
Mengapa pemerintah dan elit-elit sungkan mengedukasi masyarakat? Hingga kini saya bertanya tanya. Ada apa gerangan? Tidak terpikirkah mereka ini fatal untuk peradaban manusia. Atau jangan-jangan elit dan pemerintah tidak tahu apa yang mereka tidak tahu.
Perjalanan saya sejak kecil bersama dengan orangtua saya, menuju daerah tertentu menggunakan tenaga kaki, kini menyadarkanku betapa masyarakat butuh sentuhan tangan. Masyarakat sudah berbuat, tetapi mereka terbatas. Mereka memang butuh gebrakan-gebrakan untuk mendobrak batas-batas tersebut. Pembangunan yang sepotong-sepotong menjadi jargonnya Pemerintah. Seolah mereka sudah maksimal, sudah cukup mengangkat dan memberdayakan. Apa iya? Kita sudah rasakan, kita sebenarnya hanya diberikan tontonan, tetapi sesungguhnya kita sedang jalan di tempat. Otonomi yang menjadi harapan menuju kemandirian sebenarnya dapat terwujud.
Bidang pendidikan merupakan aspek yang sangat strategis mempercepat kemajuan suatu daerah, kalau kaum elit dan pemerintah benar-benar mau mewujudkannya. Pemerintah harus tahu duduk permasalahannya, harus mampu mengkaji dan harus mampu mengeksekusi. Negara maju sudah membuktikan dirinya dengan meng-claim aspek pendidikan sebagai kuncinya. Pembangunan manusianya dihasilkan secara terpadu melalui penyiapan infratruktur, sarana dan prasarana, kejahteraan sosial serta lingkungan hidup. Pembangunan yang terpadu ini adalah kunci mengangkat dan mewujudkan masyarakat yang teredukasi. Pembangunan terpadu yang dirancang dengan konsep yang jelas, tujuan yang mantap, akan terwujud jika kaum elit dan pemerintah sungguh-sungguh berkerja. (to be continued...)
Saya lebih yakin bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara ditentukan oleh andil masyarakatnya sendiri yang dalam istilah saya yakni masayrakat yang teredukasi. That's the point, educated society. Bagaimana gambaran masyarakat yang teredukasi itu?
Masyarakat yang teredukasi tidaklah muncul serta merta dengan lahirnya suatu negara. Tetapi mudah tidaknya membentuk masyarakat yang teredukasi adalah peran dari negara itu sendiri. Negera memiliki konstitusi, negara memiliki power, negara memiliki seluruh apapun di wilayah ini seharusnya mampu menyelesaikannya.
Saya tidak perlu menceritakan daerah terpencil lainnya di wilayah Indonesia, tetapi yang saya jadikan cerminan adalah daerahku, dengan 4 kabupaten dan 1 kota. Pulau yang memiliki sejuta potensi, pulau yang dengan alamiah bertahan hidup dengan kreativitasnya sejak dahulu dan kreativitas tersebut juga dimiliki oleh daerah-daerah lain di penjuru Nusantara. Pertanyaannya mengapa masyarakat masih saja mengeluh, bukankah mereka mampu bertahan hidup? Ini yang menjadi persoalannya. Konsep bertahan hidup yang dimaksud hanya berhenti pada jari jemari tersebut, kalau istilahnya hanya berupa pengetahuan yang dibawa turun temurun, tidak melalui konsep untuk pengembangan sehingga mampu menyebar luas dan dirasakan oleh masyarakat yang luas tersebut. Konsep bertahan hidup ini merupakan proses spontan yang tetap saja terbatas, sehingga masyarakat hidup seadanya ketika berakhir pada usia senja.
Pertanyaan mungkin muncul, sudahkah masyarakat maksimal berbuat? Hemat saya sudah (meskipun terbatas). Saya selalu geleng-geleng kepala ketika kelompok elit pesimis bahwa akar permasalahan adalah masyarakat itu sendiri. Sungguh pernyataan yang tidak beralasan. Elit punya kuasa, elit diberi mandat, elit punya fungsi, seharusnya berdayakanlah masyarakat tersebut. Kenyataannya ternyata elit juga hanya duduk diam dan menyalahkan keadaan. Elit seharusnya menjadi fasilitator karena memiliki potensi besar menembus batas. Batas komunikasi yang kini bisa ditembus menjadi modal paling besar untuk memberdayakan dan mengedukasi masyarakat. Tetapi permasalahan justru berada pada elit tersebut. Benarkah mereka bekerja benarkah mereka membawa dan mengangkat amanat rakyat, kalau mereka-mereka sendiri hanya bertopeng.
Teringatnya ketika wacana otonomi daerah mengemukaka dekade terakhir, rasa dan keinginan untuk maju menjadi slogan di barisan pertama. Tiap-tiap daerah percaya diri akan keberadaan dan kesiapannya. Muncullah elit-elit yang justru paling kuat meneriakkan pembangunan. Kita punya ini, punya itu, kita bisa, kita mampu, percayalah ungkapan-ungkapan itu yang kerap sekali hadir setiap awal-awal suatu gerakan. Sudahkah kita bergerak? Justru kaum elit kini kebingungan, kaum elit kini saling menyalahkan. Mereka lupa bahwa mereka adalah pemegang mandat perjuangan itu. Entah mengapa, mobilisasi masyarakat yang saya rasakan justuru makin tak menentu. Masyarakat hanya dijadikan objek, bukan subjek pembangunan. Masyarakat yang menjadi subjek pembangunan inilah yang saya istilahkan dengan masyarakat yang teredukasi.
Mengapa pemerintah dan elit-elit sungkan mengedukasi masyarakat? Hingga kini saya bertanya tanya. Ada apa gerangan? Tidak terpikirkah mereka ini fatal untuk peradaban manusia. Atau jangan-jangan elit dan pemerintah tidak tahu apa yang mereka tidak tahu.
Perjalanan saya sejak kecil bersama dengan orangtua saya, menuju daerah tertentu menggunakan tenaga kaki, kini menyadarkanku betapa masyarakat butuh sentuhan tangan. Masyarakat sudah berbuat, tetapi mereka terbatas. Mereka memang butuh gebrakan-gebrakan untuk mendobrak batas-batas tersebut. Pembangunan yang sepotong-sepotong menjadi jargonnya Pemerintah. Seolah mereka sudah maksimal, sudah cukup mengangkat dan memberdayakan. Apa iya? Kita sudah rasakan, kita sebenarnya hanya diberikan tontonan, tetapi sesungguhnya kita sedang jalan di tempat. Otonomi yang menjadi harapan menuju kemandirian sebenarnya dapat terwujud.
Bidang pendidikan merupakan aspek yang sangat strategis mempercepat kemajuan suatu daerah, kalau kaum elit dan pemerintah benar-benar mau mewujudkannya. Pemerintah harus tahu duduk permasalahannya, harus mampu mengkaji dan harus mampu mengeksekusi. Negara maju sudah membuktikan dirinya dengan meng-claim aspek pendidikan sebagai kuncinya. Pembangunan manusianya dihasilkan secara terpadu melalui penyiapan infratruktur, sarana dan prasarana, kejahteraan sosial serta lingkungan hidup. Pembangunan yang terpadu ini adalah kunci mengangkat dan mewujudkan masyarakat yang teredukasi. Pembangunan terpadu yang dirancang dengan konsep yang jelas, tujuan yang mantap, akan terwujud jika kaum elit dan pemerintah sungguh-sungguh berkerja. (to be continued...)
(dirampungkan
tanggal 22 Februari 2017
)